YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Prof Dwikorita Karnawati mengajak generasi muda termasuk mahasiswa Fakultas Teknik UGM untuk berkontribusi menekan laju emisi gas rumah kaca. Aksi tersebut merupakan upaya mengurangi pemanasan global dan dampak perubahan iklim.
Dwikorita Karnawati mengemukakan hal tersebut saat mengisi Kuliah Perdana bagi mahasiswa program sarjana Fakultas Teknik UGM di Grha Sabha Pramana UGM Yogyakarta, Senin (14/8/2023). Dwikorita memaparkan suhu permukaan bumi menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat dari waktu ke waktu. Kenaikan suhu global terlihat cukup signifikan setelah revolusi industri.
“Kenaikan suhu ini melompat setelah revolusi industri, sekitar 1980-an. Sampai tahun 2022 kenaikan suhu global mencapai kurang lebih 1,2 derajat Celcius dan tren untuk suhu naik terus meningkat,” kata Dwikorita Karnawati.
Dwikorita mengatakan tahun 2015 hingga 2022 menjadi delapan tahun terpanas sepanjang sejarah. Tahun 2022 menjadi tahun terpanas urutan kelima sepanjang sejarah sejak revolusi inndustri. BKMG pun memperdiksi pada tahun 2100 suhu udara permukaan akan naik secara signifikan dibandingkan sebelum revolusi industri.
“Di akhir abad 21 suhu permukaan udara dapat meloncat dari 1,1 derajat Celcius menjadi 3,5 derajat Celcius dibandingkan sebelum revolusi industri. Ini akan terjadi diseluruh pulau besar Indonesia seperti Kalimantan, Sumatera, Jawa, Papua, dan Sulawesi jika kita tidak melakukan mitigasi laju kenaikan temperatur,” katanya.
Saat ini, kata Dwikorita, ada 33 stasiun pengawas atmosfer di seluruh dunia. Salah satunya dikelola BMKG di Bukit Kototabang, Sumatera Barat. Hasil monitoring diketahui ada lonjakan konsetrasi gas rumah kaca mulai tahun 1996-2023. “Kenaikannya hampir 40 ppm itu saja di tengah hutan, lokasi yang belum tercemar. Bayangkan kalau di kota besar akan lebih tinggi lagi,” ujarnya.
Karena itu, Dwikorita mengimbau seluruh pihak untuk ikut ambil bagian dalam upaya pengendalian gas rumah kaca. Upaya tersebut penting dilakukan untuk mengurangi dampak perubahan iklim yang membawa dampak buruk bagi kehidupan.
Perubahan iklim mengakibatkan banjir dengan jumlah kejadian dan intensitas yang kian meningkat, kelangkaan air di seluruh belahan dunia, kenaikan suhu, kekeringan, bahkan kerawanan pangan. “Hampir seluruh dunia akan mengalami ini termasuk Indonesia di sekitar tahun 2050. Hal ini akan terjadi dengan asumsi jika hidup kita menggunakan energi yang mengakibatkan gas rumah kaca,” katanya. (*)