YOGYAKARTA — Kesadaran menjadi warga Asia Tenggara saat ini masih terbatas pada kalangan elit negara-negara anggota Associate South East Asia Nation (ASEAN). Sebab identitas sebagai warga ASEAN ini direkonstruksi oleh wakil dari negara-negara Asia Tenggara sehingga baru populer di kalangan mereka. Karena itu, kesadaran warga ASEAN harus dibumikan kepada seluruh masyarakat di 10 negara anggotanya.
Demikian diungkapkan Muhadi Sugiono MA, dosen Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta kepada jogpaper.net di sela-sela konferensi The 3th International Indonesian Forum on Asian Studies Conference di Yogyakarta, Rabu (8/2/2017). Saat ini, warga masing-masing negara ASEAN masih memandang warga negara lain sebagai ancaman.
Akibat sikap ini, kata Muhadi, Masyarakat Ekonomi ASEAN atau MEA yang pelaksanaannya telah ditetapkan sejak 1 Januari 2016 belum mendapat perhatian serius dari masyarakat Indonesia. Masyarakat dan para stakeholder masih adem ayem meskipun MEA sudah diberlakukan selama satu tahun.
Muhadi yang juga peneliti senior pada Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) Universitas Gadjah Mada (UGM) merasa prihatin terhadap kondisi ini. Ia mengharapkan agar para akademisi merespon dan memandang Asia Tenggara dengan cara berbeda.
“Para akademisi tidak lagi bisa melihat Asia Tenggara dengan cara-cara yang sudah berkembang sejak zaman kolonial. Asia Tenggara sebagai obyek saja atau melihat Asia Tenggara sebagai identitas yang diberikan oleh orang dari luar Asia Tenggara seperti Amerika, Eropa,” tandas Muhadi.
Dijelaskan Muhadi, Asia Tenggara muncul sejak Perang Dunia II untuk kebutuhan strategi militer, komando Sekutu di wilayah ini. Pada saat itu, Asia Tenggara bukan siapa-siapa dan tidak ada Asia Tenggara dalam artian yang sebenarnya.
Namun kini ASEAN yang berkembang ada aspek ekonominya, Asia Tenggara mulai terasa keberadaanya. Banyak orang merasa dirinya berasal dari Asia Tenggara. Pengakuan ini dirasa belum cukup bisa mempererat kerjasama di antara warga negara anggota ASEAN.
“Realitas di kawasan ini menjadi berbeda ketika orang-orang di wilayah ini memiliki kesadaran identitas. Namun persoalannya adalah identitas Asia Tenggara yang dikembangkan saat ini masih sangat dominan di kalangan elit. Sebab identitas ini direkonstruksi oleh wakil dari negara-negara Asia Tenggara,” ujar Muhadi.
Menurut Muhadi, hal yang belum banyak ketahui adalah bagaimana dan apakah seluruh masyarakat di kawasan Asia Tenggara mempunyai konstruksi yang sama tentang Asia Tenggara. Kalau belum ada, apakah ada cara untuk mendorong agar kesadaran itu bisa muncul di seluruh masyarakat anggota ASEAN.
Saat ini, kata Muhadi, pemerintah di negara-negara Asia Tenggara sudah mendorong warganya untuk memiliki identitas bersama. Tetapi warganya masih mengalami kesulitan untuk meleburkan diri menjadi satu kesatuan Asia Tenggara. Saat ini, warga masing-masing negara di Asia Tenggara masih merasa menjadi ancaman satu sama lain. “Jadi konstruksi identitas yang dibangun negara ada hambatan,” katanya.
Di sisi lain, suatu proses yang tidak menyebut sebagai upaya untuk membangun suatu identitas, tetapi dalam prakteknya justru menghasilkan satu identitas. Contohnya, adanya low cash airline yaitu AirAsia.
Ini merupakan perubahan yang significan. Kalau dulu Garuda Indonesia, Malaysia Airline, Thai hanya terbang dari ibukota negara ke ibukota negara lain. Sedang AirAsia menerbangi kota-kota kecil di berbagai negara Asia Tenggara. Sehingga yang naik pesawat itu hampir semua orang bisa.
“Itu merupakan perkembangan yang di masa depan, setelah beberapa tahun akan dirasakan hasilnya. Karena interaksi antar masyarakat lebih membumi. Ini akan membuat perubahan signifikan di Asia Tenggara,” kata Mashudi.
Karena itu, Muhadi mengajak komunitas yang tertarik mempelajari Asia Tenggara untuk melihat realitas yang berkembang saat ini. Memunculkan identitas tidak harus melalui cara-cara formal dan konvensional yang sudah ketinggalan zaman.
Sehingga kalau kita memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk membuat kebijakan harus berbasis dengan realitas yang ada saat ini. Tidak bisa lagi berbasis pengetahuan yang dulu-dulu.
Hal yang perlu ditekankan, kata Muhadi, saat ini adalah bagaimana mendorong setiap orang menjadi bagian dari Asia Tenggara. Artinya, mereka juga diberikan porsi agar bisa merekonstruksi diri.
Muhadi menyarankan kepada pemangku kepentingan di tingkat paling bawah agar segera mulai berpikir terhadap ruang yang lebih besar. Sehingga ke depan mereka tidak menjadi penonton di negeri sendiri.
Penulis : Heri Purwata