YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Kesejalanan sains dan politik, serta nilai-nilai kemanusiaan dengan kebutuhan merupakan berpeluang besar untuk mengatasi pandemi Covid-19. Selama ini sains dan politik belum sejalan karena penguasa tidak percaya pada sains. Sedang nilai-nilai kemanusiaan juga belum berjalan dengan baik akibat masih banyak manusia yang ‘memancing di air keruh’ di masa pandemi ini.
Prof Fathul Wahid ST, MSc, PhD, Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) mengemukakan hal tersebut saat memberikan keynote speech pada diskusi menyambut terbitnya Buku ‘Islam Indonesia 2021’ secara Daring (dalam jaringan), Kamis (7/1/2021). Buku ‘Islam Indonesia 2021’ ini diterbitkan Lembaga Kebudayaan Embun Kalimasada Yayasan Badan Wakaf (YBW) UII.
Buku ‘Islam Indonesia 2021’ ini membahas tentang respon masyarakat Indonesia dalam menghadapi pandemi Covid-19. Sedang pembicara pada diskusi, Rektor Universitas Nahdlatul Ulama (UNU), Prof Dr Purwo Santoso; Dekan Fakultas Kedoktertan (FK) UII, dr Linda Rosita, MSc, SpPK; dan dosen Fakultas Bisnis dan Ekonomika (FBE) UII, MB Hendrie Anto, SE, MSc.
Lebih lanjut Fathul Wahid menjelaskan ketidakharmonisan sains dan politik. Di Amerika Serikat, ada hal yang bisa dijadikan cermin antara sains dan politik. Majalah ilmiah ‘Scientific American’ membuat editorial mendukung calon presiden Joe Biden. Hal ini merupakan ketidaklazim sebuah majalah ilmiah mendukung calon presiden, 1 Oktober 2020. “Ini baru pertama kali dilakukan selama 175 tahun usia majalah tersebut,” kata Fathul.
Alasan editorial tersebut muncul, kata Fathul Wahid, majalah ini melihat sang petahana (Donald Trump, red) itu tidak menghargai sains sama sekali. Ia menolak bukti scientific dalam menangani pandemi Covid-19 dan kasus-kasus lain termasuk menafikan perubahan iklim global.
Majalah lain yang tidak kalah prestisius ‘The Nature’, kata Fathul, membuat editorial yang isinya mirip dengan ‘The Scientific American’. ‘The Nature’ tidak bisa tinggal diam ketika sains dirusak. Namun selain pandemi Covid-19, ‘The Nature’ juga menyoroti isu demokratisasi, dan perpecahan antar kelompok di AS.
“Dua editorial ini sangat menarik karena majalah sains yang masuk ke ranah politik, ketika sains sudah kehilangan martabatnya. Padahal berdasarkan survei, tingkat kepercayaan publik terhadap sains lebih tinggi dari pada politisi atau menteri,” katanya.
Kemudian, kata Fathul Wahid, Lembaga Pendorong Sains Terbuka di Swiss mensurvei 25 ribu scientist dunia tentang penggunaan sains untuk menangani pandemi Covid-19. Sebanyak 77 persen scientist Selandia Baruyang menyatakan pemerintahnya menggunakan sains dalam menangani pandemi Covid-19. Kemudian disusul Yunani 76 persen, dan Tiongkok 71 persen.
Sedang di Amerika Serikat, scientist yang percaya pemerintahnya menggunakan sains untuk menangani Covid-19 hanya 18 persen. Kemudian di Cile 22 persen, Brasil 23 persen, Inggris 24 persen. “Ini peta besar dunia. Sayangnya tidak ada peta hal ini di Indonesia,” ujar Fathul.
Sebetulnya, kata Fathul, bila sains dan politik bergabung, bersentuhan dan berinteraksi akan meningkatkan kesejahteraan manusia. Namun kolaborasi antara sains dan politik tampaknya masih sulit terjadi.
“Pemerintah Inggris sudah mengklaim menggunakan scientific untuk penangan Covid-19. Tetapi kemudian muncul pertanyaan dari kalangan scientist, sains mana yang digunakan? Ini ada indikasi menggunakan sains sebagai stempel. Atau menggunakan sains sebagai kambing hitam yaitu sains tidak memberikan saran yang tepat dalam menangani pandemi. Ini harus hati-hati,” kata Fathul.
Pandemi Covid-19, kata Fathul, juga memunculkan isu kemanusiaan. Pendekatan Islam yang tertuang dalam hadist dapat dilihat dari dua perspektif yaitu ajaran praktikel dan isoteris.
Aspek praktikel adalah bagaimana menjaga jiwa. Ada satu hadist mengajarkan jika kamu berada di daerah yang mengalami pandemi jangan masuk, dan jika Anda berada di dalam daerah pandemi jangan keluar. “Ini ajaran yang sangat praktikel dan sangat ilmiah. Ini adalah materi edukasi publik. Ketika pemerintah kehilangan legitimasi, dan tokoh agama mengajarkan ini akan lebih didengar,” katanya.
Sedang aspek isoteris adalah lebih melangit. Kalau kita sudah tidak melindungi diri dan tidak memaparkan pada orang lain atau menjaga agar tidak terpapar dari orang lain dan masih terpapar. Kemudian mati, maka kematian karena wabah bisa disebut mati syahid. “Tetapi bukan berarti kita terus memaparkan diri atau menularkan pada orang lain. Kalau semua upaya sudah dilakukan dan masih terpapar, itu baru mati syahid,” jelasnya.
Aspek tersebut menjadi landasan teologis terhadap gerakan-gerakan agama di Indonesia yang sangat peduli dalam penanganan Covid-19. Muhammadiyah mempunyai Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), NU memiliki Satgas peduli Covid-19. Ini merupakan kesadaran kolektif yang luar biasa.
Namun,kata Fathul Wahid, ada dua sisi manusia yang muncul saat pandemi. Pertama, sisi positif manusia yaitu membantu orang dengan segala upaya, dan beragam inisiatif. Kedua, ada sekelompok orang menjadi ‘pengail di air keruh.’ Misalnya, menimbun alat kesehatan untuk mengambil keuntungan besar dari beragam obat-obatan.
“Dua sisi manusia ini penting untuk didiskusikan, bagaimana yang negatif dikurangi. Sedang yang positif diperbanyak agar menumbuhkan rasa kepedulian yang lain. Insyaallah pandemi bisa diatasi lebih baik lagi,” katanya.