YOGYAKARTA, JOGPAPER. NET — Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan Instuksi Presiden RI (Inpres) dan tidak termasuk dalam sumber hukum serta tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia, Namun KHI dapat digunakan hakim untuk memutus perkara hadhonah (pengasuhan anak) di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Sehingga kedudukan KHI perlu ditingkatkan menjadi undang-undang.
Demikian diungkapkan Drs H Lutfi SH, MH, Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Palangka Raya, Kalimantan Tengah saat mempertahankan desertasi di Program Studi Doktor Hukum Islam (DHI), Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia (FIAI UII), dalam jaringan (Daring), Rabu (5/8/2020). Tim penguji Prof. Fathul Wahid, ST, MSc, PhD, Dr Drs Yusdani, MAg, Prof Dr Amir Mu’allim, MIS (promotor), Dr M Muslich, KS, MAg (co promotor), Prof Dr Kamsi, MA, Prof Dr Khoiruddin Nasution, MA, dan Dr Drs Asmuni Mth, MA.
Lutfi mengangkat judul desertasi ‘Penerapan Kompilasi Hukum Islam pada Peradilan Agama dalam Perkara Hadhonah dan Eksekusi Pelaksanaan Putusannya (Studi Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang banding ke Pengadilan Tinggi Agama DKI Jakarta Tahun 2010-2013). Hakim Utama ini dinyatakan lulus oleh Tim Penguji dan berhak menyandang gelar doktor.
Lebih lanjut Lutfi menjelaskan perkara hadhonah merupakan kompetensi absolut peradilan agama. Hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam memutus perkara hadhonah selalu menggunakan KHI. Hal ini dilakukan untuk mengisi kekosongan hukum (recht vacuum), dan KHI merupakan the living law.
Namun kata Lutfi, dalam penerapannya untuk menjaga tegaknya hukum dan keadilan dilakukan secara fleksibel mengacu pada kaidah hukum Islam. “Penerapan KHI dalam menyelesaikan perkara hadhonah serta eksekusi pelaksanaan putusannya, terfokus pada kepastian hukum. Sebab ada doktrin ‘Ultra Petita Partium,’” kata Lutfi.
Hakim dalam memutus perkara, tandas Lutfi, wajib memenuhi akumulasi tujuan hukum. Putusan harus mengandung unsur keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Berdasarkan hasil penelitian ini, Lutfi, mengusulkan agar KHI yang berbentuk Inpres diupayakan untuk menjadi undang-undang. Untuk mengubahnya harus ada dukungan umat Islam, melalui lembaga eksekutif, legislatif maupun lembaga keagamaan seperti Majelis Ulama’ Indonesia, Nahdlotul Ulama’, Muhammadiyah dan lain-lain.
Selain itu, hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang menjadi wewenangnya, jangan hanya menjadi corong undang-undang (subsamptie automaat/ La bouche de la loi). Tetapi, hakim sebagai judge made law harus berani membuat terobosan baru, dengan putusan yang adil, bermanfaat, dan tercipta kepastian hukum.
Menurut Lutfi, untuk mengeksekusi perkara hadhonah banyak hambatan. Karena itu, Lutfi menyarankan agar dilakukan beberapa langkah sebelum mengeksekusi perkara. Di antaranya, musyawarah dan mengkedepankan lembaga mediasi; menerapkan dwangsom. Karena dengan adanya dwangsom, orang yang dihukum itu ditekan secara psikis agar ia dengan sukarela melaksanakan hukuman pokok yang telah ditentukan oleh hakim.
Selain itu, membuat tuntutan provisionil dalam gugatan ; eksekusi putusan hadhonah, jika anak tidak diketemukan atau anak tidak berada di alamat yang ditunjuk oleh Pemohon eksekusi, maka eksekusi tidak langsung dinyatakan non exutable. Eksekusi dapat ditunda sampai batas waktu yang ditentukan kemudian, dan dapat dilanjutkan setelah diketahui keberadaan anak, tanpa pemberitahuan kepada Termohon eksekusi.
“Hal ini dilakukan apabila ada indikasi iktikad buruk dari Termohon eksekusi. Namun bisa juga mengajukan tuntutan pidana, terhadap Termohon eksekusi yang menghalang-halangi jalannya proses eksekusi,” kata Lutfi. (*)