YOGYAKARTA — Kinerja penyidik Kejaksaan Republik Indonesia dalam mengungkap tindak pidana korupsi belum berjalan efektif. Menyusul tidak terpenuhi target pengungkapan kasus korupsi yang telah ditetapkan sebanyak 1.457 kasus per tahun. Selama ini, Kejaksaan baru dapat mengungkap sebanyak 1.284,3 kasus setiap tahunnya.
“Dapat dikatakan ‘efektif’ jika hasil setiap tahunnya pengungkapan mencapai 1.457 kasus per tahun,” kata Jaksa Kejaksaan Agung RI, Dr Ajimbar, SH MH, saat ujian terbuka program doktor di Fakultas Hukum (FH) UGM Yogyakarta, Selasa (11/10/2016).
Ajimbar mempertahankan disertasi berjudul ‘Kajian Pelaksanaan Tugas Kejaksaan Republik Indonesia dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Indeks Pretasi Penyidikan.’ Berdasarkan hasil penelitiannya, terdapat sejumlah aspek yang mesti dibenahi untuk meningkatkan kemampuan penyidik Kejaksaan RI mengungkap dan memberantas korupsi di Indonesia di masa mendatang.
Salah satunya, kata Ajimbar, membenahi peraturan perundang-undangan yang ada. “Hilangkan hambatan jika melakukan tindakan represif terhadap pelaku tindak pidana korupsi gubernur, bupati, walikota, DPR, DPRD 1, dan DPRD 2,” jelas Ajimbar.
Hal tersebut, kata Ajimbar, telah diatur dalam putusan Mahkamah Konstitusi No 73/PUU-IX/2011. Sedangkan untuk pelaku korupsi oleh aparatur sipil diatur dalam pasal 384 ayat (1) UU No. 9 Tahun 2015 tentang Pemerintah Daerah.
Selain itu, katanya, dengan memberikan sanksi pidana mati terhadap pelaku korupsi. Hal ini dapat dilaksanakan sebagaimana telah diatur dalam pasal 2 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. UU ini dapat diterapkan agar kriteria-kriteria dalam keadaan tertentu dan disebutkan pula siapa pejabat yang menetapkan bahwa kondisi keadaan tertentu itu memenuhi syarat harus dimasukkan ke dalam UU Tindak Pidana Korupsi.
Sementara dalam internal kejaksaan, Ajimbar menyebutkan perlunya peningkatan kemampuan sumber daya manusia agar dapat memahami teknis dan administrasi penyidikan. Di samping itu , jaksa harus menguasai peraturan perundang-undangan serta ilmu pengetahuan lainnya.
Jaksa, kata Ajimbar, juga dibekali ilmu bela negara agar setiap warga kejaksaan memiliki wawasan kebangsaan, jiwa pengabdian dan juang yang tinggi, rela berkorban, serta loyalitas yang tinggi. Serta meningkatkan integritas moral, sarana prasarana dan kesejahteraan, serta melakukan pembatasan waktu bagi jaksa penyidik tindak korupsi bertugas di daerah tertentu. “Seyogianya jaksa penyidik tindak pidana korupsi tidak melakukan tugas rangkap,” katanya.
Sedang di sisi eksternal, tambah Ajimbar, Kejaksaan RI dapat mengambil langkah penahaan segera pada pelaku tindak korupsi setelah ditetapkan sebagai tersangka. Juga memberikan himbauan kepada masyarakat untuk berani melapor apabila mengetahui adanya tindak korupsi dan meningkatkan integritas moral.
Penulis : Heri Purwata