WATES, JOGPAPER.NET — Kolaborasi dosen Institut Teknologi Nasional Yogyakarta (ITNY) dan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) berhasil membuat geblek (makanan khas Kulonprogo) menjadi lebih empuk. Bahkan kini perajin geblek dampinganya telah menciptakan empat varian rasa yaitu original, tenggiri, udang, tuna, serta diversifikasi produk berupa cireng dan ketela keju.
Ketiga dosen adalah Dr Daru Sugati (ITNY), Mutiasari Kurnia Devi dan Dr Nani Ratnaningsih STP, MP (UNY). Geblek merupakan makanan tradisional dari pati singkong basah yang kini menjadi ikon Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Ciri khas geblek, warna putih, bentuk seperti angka delapan, rasa gurih, dan tekstur kenyal. Selama ini geblek akan menjadi keras setelah beberapa lama diangkat dari penggorengan.
Namun berkat sentuhan ketiga dosen yang memberikan dampingan melalui Program Pengembangan Produk Unggulan Daerah (PPPUD) yang didanai oleh Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Kemenristekdikti berhasil menciptakan geblek empuk dengan empat varian rasa. Pendampingan ini akan berlangsung selama tiga tahun yang dimulai 2019.
“Tema program yang diusung Healthy Geblek: Camilan Sehat Kekinian dari Kulonprogo. Kini sudah memasuki tahun kedua,” kata Daru Sugati, Selasa (7/7/2020).
Geblek empuk dengan varian rasa, kata Daru, merupakan program pendampingan tahun kedua. Perajin mendapat bantuan alat pemasak geblek (autoclave); formulasi geblek kekinian (keju, rendang, balado); pengujian sensoris dan kandungan gizi geblek kekinian. Selain itu, juga diberikan pelatihan pembukuan dan perpajakan; pembuatan website; promosi dan kerja sama dengan pemda; perencanaan line production; dan pelatihan higiene sanitasi jasa boga.
Sedang Nani Ratnaningsih menambahkan pendampingan ini akan membuat rumah produksi yang higienis. “Desain rumah produksi sudah ada dan sudah dimulai pembangunan. Karena ada pandemi Covid-19, dana sudah turun tetapi belum bisa mencairkan. Tetapi pendampingan terus berjalan,” kata Nani.
Sementara Supriadi, perajin geblek yang berada di Dusun Klepu, Kalurahan Banjararum, Kapanewon Kalibawang, Kabupaten Kulonprogo merasa beruntung mendapat dampingan dari dosen ITNY dan UNY. Geblek empuk dengan empat varian rasa ini semakin digemari masyarakat.
Setiap hari Supriadi mengolah 150-200 kilogram tepung tapioka untuk dijadikan geblek. Ada dua jenis geblek yang dihasilkan yaitu curah (tidak dikemas) dan kemasan. Geblek curah untuk memenuhi permintaan warung-warung yang ada di sekitar Kulonprogo. Sedangkan geblek kemasan untuk memenuhi permintaan melalui online.
Berat geblek kemasan 400 gram diproses dengan vacum sehingga bisa awet kurang lebih tiga bulan dan harus dimasukkan dalam freezer. Penjualan geblek kemasan sudah merambah ke berbagai kota seperti Yogyakarta, Tegal, Semarang, Jakarta dan Bekasi.
Cara memakan geblek pun telah tersentuh inovasi. Geblek tidak dimakan langsung, tetapi dicocorkan terlebih dulu dalam sambal cair baru dimakan. Sambal cair sudah ada dalam kemasan. “Sambal ini rasanya, pedas, dan asam, seperti sambal empek-empek Palembang,” katanya.
Selama pandemi, Supriadi mengaku permintaan mengalami penurunan. “Omzet saat pandemi Covid-19 menurun, tinggal 30 persen. Sejak Februari sudah turun. Tetapi Bulan April mulai agak naik sedikit menjadi 50 persen, hingga sampai saat ini,” jelas Supriadi.
Saat ini, kata Supriadi, dirinya bersama dengan ketiga dosen pendampingnya masih melakukan penelitian bagaimana membuat geblek lebih empuk lagi, tidak meledak saat digoreng dan lebih awet. Selain itu, juga membuat alat penggorengan praktis dan mendesain alat mixer agar hasil geblek lebih bagus.
“Rencana akan membuat outlet di Kota Wates. Di Bandara juga sudah diberikan space untuk mendisplai geblek agar memudahkan masyarakat untuk membeli sebagai oleh-oleh. Rencana Agustus sudah siap di-display di Bandara,” kata Supriadi. (*)