YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Kolaborasi interprofesional dalam penanganan pasien gangguan jiwa akan membuahkan hasil yang optimal. Para profesional pemberi asuhan (PPA) akan mengevaluasi pasien gangguan jiwa secara subyektif dan obyektif. Sehingga mereka dapat membuat keputusan terkait status kesehatan pasien, kebutuhan perawatan, intervensi dan evaluasi secara optimal.
Hal tersebut diungkapkan dr Wikan Ardiningrum, MSc, SpKJ, psikiater Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta pada Webinar ‘Interprofessional Education (IPE) in Mental Healt Care’ Ahad (14/11/2021). Webinar yang digelar Jurusan Farmasi, Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Islam Indonesia (FMIPA UII) diikuti 1.300 peserta.
Webinar menghadirkan lima pembicara, pertama, Wikan Ardiningrum yang mengangkat tema Peran Psikiater dan Praktek IPC (Interprofessional Collaboration) dalam Layanan Kesehatan Jiwa di Indonesia. Kedua, Ns Sutedjo, MKep, Sp Kep J tema ‘Layanan Kesehatan Jiwa dalam Lingkup Keperawatan serta keutamaan praktek kolaboratif dari perspektif keperawatan.’
Ketiga, Psikolog, Libbie Annatagia, M Psi, dengan tema ‘Peran Psikolog Klinis dalam Pelayanan Kesehatan Jiwa dan Praktek Baik (Best Practice) Kolaboratif di Indonesia.’ Keempat, apt Okky Puspitasari Sugiyarto, MSc dengan tema ‘Peran Apoteker dalam Layanan Kesehatan Jiwa dan Praktek Baik (Best Practice) kolaboratif di Indonesia.’ Kelima, Dr Hanna Morrissey dengan tema ‘Peran Apoteker dan Praktik Kolaborasi Tenaga Kesehatan dalam Penyediaan Layanan Kesehatan Jiwa di Negara Maju.’
Lebih lanjut Wikan Ardiningrum mengatakan layanan mental harus dilakukan dengan kolaborasi. Sebab orang yang terkena gangguan jiwa sifatnya multifaktor ada biologis, psikologis, sosial, dan spiritual.
“Jika kita hanya menyelesaikan secara biologis, tetapi aspek psikologis dan sosial tidak dipertimbangkan tidak optimal hasilnya. Karena itu, perlu kolaborasi. Sebab penyakit jiwa tidak bisa diselesaikan sendiri oleh psikiater,” kata Wikan.
Dijelaskan Wikan, jiwa merupakan fungsi susunan syaraf pusat yang terjadi melalui proses belajar. Posisi jiwa ada di otak yang terbagi menjadi beberapa logus-logus yang masing-masing mempunyai fungsi jiwa.
Kata Wikan, logus frontal yang berfungsi untuk berpikir, berbicara, dan memori. Logus Parieta menjadi fungsi bahasa, sensasi, memegang, mencium, merasa. Logus Occipital yang berfungsi untuk penglihatan, warna. Logus Cerebellum untuk keseimbangan. Logus Brain Stem berrfungsi untuk mengatur pernafasan. Logus Temporal yang berfungsi mendengarkan, belajar, dan merasa.
“Ketika jiwa kita terganggu, maka fungsi-fungsi otak tersebut akan terganggu juga. Sehingga seseorang akan berperilaku tidak sewajarnya. Ini yang disebut sebagai orang terkena gangguan jiwa,” kata Wikan.
Menurut Pasal 1 UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang kesehatan jiwa, seorang dinyatakan sehat jiwa jika individu itu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual dan sosial. Sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri dapat mengatasi tekanan, bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya.
Sementara Ketua Jurusan Farmasi FMIPA UII, Prof Dr apt Yandi Syukri, SSi, MSi mengatakan kolaborasi antar profesional kesehatan mental ke depan sangat dibutuhkan. Sebab masa depan adalah era kolaborasi. Karena itu, untuk membangun kolaborasi, kerjasama, dan harus dimulai sejak dini dari bangku perkuliahan.
“Peserta webinar tentu sangat senang sekali mendapat pengetahuan dari nara sumber yang handal sehingga bisa memberikan energi yang positif. Semoga ilmu ini bisa betul-betul berkontribusi untuk membangun kesehatan mental di Indonesia lebih baik,” kata Yandi Syukri.