YOGYAKARTA — Korupsi dan politisasi agama menjadi tantangan utama bangsa Indonesia. Saat ini, agama sudah digunakan untuk tujuan politik praktis. Sedangkan kerugian akibat korupsi diperkirakan mencapai Rp 205 triliun periode tahun 2001-2015dan hanya 11 persen atau Rp 22 triliun yang kembali.
Demikian diungkapkan Prof Dr Peter Carey, sejawaran Inggris ketika menjadi pembicara kunci pada konferensi International Conference on Southeast Asia Studies (ICSEAS) di Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Jumat (14/10/2016). Konferensi ini diikuti 130 ilmuwan sosial dari berbagai negara di kawasan Asia Tenggara.
Menurut Carey, uang yang dikorupsi bisa digunakan untuk membangun infrastruktur jalan. “Jumlah yang hilang ini setara dengan seluruh anggaran untuk pembangunan 871 kilometer jalan tol dan jalan baru,” kata Peter Carey.
Korupsi terbesar, kata Carey, ada di lingkungan pegawai negeri sipil (PNS) dan korporasi. Sedang langkah yang bisa dilakukan untuk menekan perilaku perampasan uang negara ini dengan memberantas mentalitas permisif korupsi di lingkungan birokrasi dan perusahaan serta di lingkungan masyarakat.
Lebih lanjut Carey mengatakan apa yang dihadapi Indonesuia saat ini, mirip dengan yang dialami Inggris pada abad ke-18 lalu. Saat itu, Pemerintah Inggris menghadapi lembaga negara yang korup. Salah satu upayanya, menciptakan kondisi pemerintahan yang efektif dengan melakukan administrasi modern.
Konfrenesi ini digagas Badan Penerbit dan Publikasi (BPP) UGM dan membahas tujuh topik utama. Di antaranya, tentang demokrasi, ketahanan pangan, kemiskinan, dan kesejahteraan.
Antropoplog UGM Prof PM Laksono menyoroti tentang perlunya pengenalan kearifan lokal dalam mengembangkan keberagaman pangan sesuai dengan kearifan rakyat. Hal itu dikemukakan Laksono karena ia menilai kebijakan pangan saat ini cenderung bersifat parsial yang masih berfokus pada ketersediaan dan konsumsinya saja, “Peningkatan kapasitas produksi pangan nyaris terabaikan,” kata Laksono.
Sementara Ketua Panitia ICSEAS Dr Pujo Semedi mengatakan konferensi ini menawarkan ide dan membuka keragaman alternatif riset yang dapat terus dikembangkan para peneliti di Asia Tenggara. Perjalanan panjang Asia Tenggara yang telah melewati masa transisi dari masa kolonial hingga bebas dari penjajahan menawarkan beragam pengetahuan yang dapat digali lebih lanjut. “Para peneliti ini turut menyumbangkan kontribusi dalam isu-isu yang berkembang di Asia Tenggara,” kata Pujo.
Penulis : Heri Purwata