YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menjadi pilar strategis untuk menjaga stabilitas sistem perbankan agar publik tetap percaya. Sebab keberadaan LPS memberikan perlindungan terhadap tabungan nasabah atas resiko kebangkrutan suatu bank.
Hal tersebut disampaikan Hendra Syamsir, pimpinan LPS pada Kuliah Umum Lembaga Penjamin Simpanan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Univeritas Muhammadiyah Yogyakarta (FEB UMY), Senin (22/4/2019). Selain Hendra Syamsir, kuliah umum juga menghadirkan pembicara Lilies Setiartiti dan Ahmad Ma’ruf dari Prodi Ilmu Ekonomi UMY.
Lebih lanjut Hendra mengatakan September 2018, LPS menjamin simpanan masyarakat yang berada pada 1.880 unit bank dengan total rekening sebanyak 265 juta. Keseluruhan nilai simpanan yang dijamin mencapai Rp 2.420 triliun.
“Sejak berdiri pada September 2004, LPS telah melikuidasi sebanyak 95 bank yang mayoritas berstatus BPR, termasuk dua BPR di DIY. LPS mampu membuktikan bisa menjamin dana masyarakat pada perbankan termasuk pada bank yang bermasalah tersebut,” kata Hendra.
Dijelaskan Hendra, seiring dengan perkembangan ekonomi digital, sekarang juga berkembang teknologi keuangan (financial technology) yang juga beresiko muncul masalah apabila tidak ada pembaharuan aturan. Secara prinsip, LPS hadir untuk melindungi nasabah atas resiko bankrutnya perbankan.
“Untuk e-money yang tidak berstatus tabungan maka uang tidak dijamin LPS. Untuk itu, perlu ada regulasi dan masyarakat harus pelajari juga aturan teknologi keuangan,” tandas Hendra.
Kehadiran LPS, kata Hendra, diawali dari Amerika Serikat. Berdasarkan sejarah, ekonomi Amerika runtuh akibat banking panic pada tahun 1930-1933. Peristiwa tersebut harus menjadi pembelajaran bahwa stabilitas dan kepercayaan pada perbankan sangat penting.
Sedang krisis ekonomi Indonesia 1998 juga berawal dari rush karena publik tidak percaya pada perbankan. “Krisis ekonomi di Amerika dan Indonesia tersebut melahirkan lembaga penjamin simpanan (LPS) pada lebih dari 100 negara termasuk di Indonesia,” jelas Hendra.