MEDAN, JOGPAPER.NET — Pakar pendidikan tinggi, Prof Edy Suandi Hamid mengemukakan saat ini berbagai masalah masih melilit bangsa Indonesia. Di antaranya, persoalan pengangguran, kemiskinan, potensi konflik dalam masyarakat, hingga karakter elit yang pragmatik dan mementingkan kekuasaan.
Karena itu, para intelektual dan lulusan perguruan tinggi diharapkan tidak menambah lagi masalah bangsa. Sebagai insan terdidik dan berakal lebih, harus ikut ambil bagian untuk memberi dan memecahkan masalah tersebut, baik dengan pemikiran maupun dengan tindakan yang lebih kongkret.
Edy Suandi Hamid, Wakil Ketua Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah mengemukakan hal tersebut di hadapan 3419 wisudawan magister, sarjana dan ahli madya di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) di Medan Senin (7/5/2018). Dalam acara yang dipimpin Rektor UMSU, Dr Agus Sani tersebut dihadiri juga Sekpel Kopertis Wilayah I Sumatera Utara, serta mantan Pangkostrad Letjen Edy Rahmayadi yang putranya ikut diwisuda sebagai Sarjana Kedokteran.
Lebih lanjut Prof Edy mengatakan saat ini banyak pengangguran, termasuk pengangguran terdidik. Lebih tujuh juta pengangguran terbuka di Indonesia dan sekitar 800 ribu di antaranya lulusan perguruan tinggi.
“Jika saudara yang diwisuda hari ini semua mencari dan melamar pekerjaan, maka ini potensial ikut menambah masalah. Sebaiknya, saudara memberi solusi atas masalah jika lulusan perguruan tinggi ini terjun menjadi wirausaha atau bekerja mandiri dan menciptakan pekerjaan bagi orang lain,” ujar Edy yang juga Rektor Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta ini.
Edy juga mengemukakan suatu hal ironis yang harus menjadi pemikiran para intelektual, adalah Indonesia yang kaya sumberdaya alam dan manusia tapi puluhan juta penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan. Bahkan, kemiskinan itu banyak di daerah yang justru kaya sumberdaya alamnya seperti Papua dan Riau. “Ini pasti ada yang salah dalam manajemen sumber daya kita, yang harus dibenahi,” ujarnya.
Ketidakefisienan pengelolaan sumberdaya alam ini juga dikarenakan korupsi yang masif melibatkan birokrasi pemerintahan, legislatif dan juga yudikatif. Celakanya lagi, sebagian besar koruptor itu lulusan perguruan tinggi. Sehingga muncul gagasan untuk mencabut ijazah perguruan tingginya bagi para koruptor. “Ini sepertinya naif, tetapi mengekspresikan keputusasaan kita atas masalah korupsi yang meluas ini,” kata mantan Ketua Forum Rektor Indonesia ini.
Soal praktik korupsi, katanya, tak bisa hanya menyalahkan perguruan tinggi. Ini dikarenakan proses pembentukan karakter seharusnya sudah dilakukan sejak pendidikan usia dini, dan juga harus dimulai juga dalam pendidikan keluarga. “Tidak adil juga kalau yang disalahkan dan dicabut hanya ijazah pendidikan tingginya,” kata mantan Rektor UII ini.