YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Masa depan bangsa-bangsa dunia akan menghadapi ketidakpastian. Hal yang sekarang tidak mungkin terjadi, di masa depan bisa terjadi. Menghadapi masalah dunia seperti ini, mahasiswa Program Studi (Prodi) Hubungan Internasional sebagai calon pemimpin dituntut bisa memberikan sumbangan pemikiran untuk mengatasi permasalahan global.
Dr KH Abdul Wahid Maktub, Duta Besar Indonesia untuk Qatar 2003-2007 mengemukakan hal tersebut pada Public Lecture ‘Kontestasi Politik Luar Negeri dan Perkembangan Islam di Indonesia’ di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Kamis (7/7/2022). Public Lecture ini diselenggarakan Prodi Hubungan Internasional, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, UII.
Lebih lanjut Abdul Wahid mengatakan situasi masa depan dunia yang sudah terhubung dengan internet ini benar-benar berbeda. Semua negara akan berkompetisi dan mereka akan mendapatkan konsekuensi dari hasil kompetisi.
“Kita tentu ingin mendapatkan konsekuensi yang positif. Karena itu, kita harus bisa memberikan jawaban yang tepat pada kondisi yang akan datang. Kalau tidak bisa memberikan jawaban tepat akan terjadi set back atau kemunduran, collapse, dan powerless,” kata Abdul Wahid.
Jika bisa memberikan jawaban cepat dan tepat terhadap permasalahan yang dihadapi, maka akan terjadi sesuatu powerfull, progress, bahkan memiliki keunggulan. “Kita harus bisa merubah powerless menjadi powerfull, hopeless menjadi hopefull. Ini yang harus kita lakukan,” tandas Abdul Wahid.
Sementara Rektor UII, Prof Fathul Wahid, ST, MSc, PhD mengatakan pengeboman Menara Kembar World Trade Center (WTC) New York, Amerika Serikat memunculkan image buruk pada Islam. Saat terjadi pengeboman, Fathul Wahid sedang menyelesaikan Master di Norwegia.
Ia merasakan pandangan beragam dari kawan-kawannya di Kampus. “Ini Muslim dari Indonesia, mungkin mirip yang ngebom. Pandangan itu melekat agak lama,” jelas Fathul Wahid.
Namun sikap kawan-kawanya bisa berubah ketika Fathul bisa berbaur dengan teman-temannya. Saat berbaur, Fathul menjelaskan pesan-pesan Islam sebenarnya. Sehingga teman-temannya menjadi tahu, jika ada banyak versi Islam.
Lebih lanjut Fathul menjelaskan berdasarkan laporan The Brookings Institution Islam telah digunakan sebagai pendekatan baru yaitu menjadi soft power dan digunakan aktor negara. Sedang Islam yang keras dan dominan diberitakan media, adalah Islam yang dimunculkan oleh aktor non negara.
“Ini menarik, bagaimana ini bisa dikontestasi, bisa dilantangkan dan bisa menjadi basis pijakan kita ke depan. Ini menjadi penting, bagaimana pesan Islam yang damai, mengandung nilai universal, keadilan, kejujuran, kesetaraan, peduli lingkungan dan lain-lain. Ini bisa kita lantangkan bersama-sama,” tandas Fathul.
Menurut Fathul, Islam soft power itulah yang menjadi pijakan di Kampus UII. Islam yang menghargai keragaman pemikiran, Islam yang menjadi rahmat bagi semesta alam. “UII sejak berdiri didedikasikan menjadi rumah besar, keragaman, pemikiran Islam dan Insya Allah akan kita rawat sampai UII tutup. Mudah-mudahan tutupnya satu hari sebelum kiamat,” katanya.
UII bisa menjadi rumah besar, jelas Fathul, pertama, UII didirikan oleh orang-orang yang ikhlas. Para pendiri bangsa adalah pendiri UII, dan mereka adalah orang sudah paripurna urusan dengan dirinya. Seperti Wahid Hasyim, Abdul Kahar Mudzakkar, KH Bagus Hadi Kusumo, KH Mas Mansyur, Muhammad Yamin, Dokter Sukiman dan lain-lain. Keikhlasan mereka menjadi basis keberhasilan UII.
Kedua, UII berhasil karena doa banyak orang. Alumni, mahasiswa, keluarga besar mahasiswa dan para sahabat UII. Mereka tidak lelah memberikan dukungan dan doanya. Ketiga, karena ikhtiar kecil pemimpin yang saat ini diberi amanah meneruskan, menambah batu bata, yang telah dibangun oleh orang-orang yang terdahulu.
“Dengan tiga modal ini, insya Allah UII akan melesat, memberikan dampak dan kehadiran UII betul-betul bisa membuat perbedaan. Salah satunya, adalah dengan melantangkan Islam yang rahmatan lil alamin bagi semesta alam,” katanya. (*)