YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Prof Fathul Wahid ST, MSc, PhD mengatakan saat ini, muslim cenderung tertinggal dalam pengembangan ilmu pengetahuan (baca: peradaban). Karena itu, Muslim harus melakukan rekontruksi sejarah. Rekonstruksi merupakan proses intelektual, ada elemen lama di sana, tetapi dilengkapi dengan eleman kontekstual sesuai kebutuhan masanya.
Fathul Wahid mengemukakan hal tersebut pada Studium Generale ke XII yang mengangkat tema ‘Perkembangan Peradaban Islam’ bagi mahasiswa Program Studi Doktor, Magister, dan Profesi UII, secara virtual, Sabtu (26/6/2021). Stadium Generale ini menghadirkan nara sumber Prof Dr Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Jakarta.
Mengutip artikel Goitein (1963), Fathul Wahid menjelaskan mengapa muslim pada Zaman Keemasan (sekitar antara 850 M dan 1250 M) lebih menerima peradaban Yunani dibandingkan dengan bangsa Eropa (yang pada saat itu berada pada Zaman Kegelapan). Terdapat tiga faktor utama, yaitu: (a) fakta bahwa warisan Yunani masih hidup di negara-negara pada saat ditaklukkan oleh muslim; (b) tingkat penerimaan terhadap Islam yang baik karena karalter aslinya yang universal dan eklektik (baca: menggabungkan yang terbaik dari berbagai sumber yang dapat diterima); dan (c) situasi spiritual pada tiga abad pertama Islam yang kondusif untuk masuknya ide dan sistem pemikiran Yunani.
Selain tiga faktor utama tersebut, lanjut Fathul, terdapat dua faktor penyerta. Pertama, sebelum Islam datang, bangsa Arab sudah menggandrungi bahasa yang indah. Ini berbeda dengan orang Eropa yang barbar. Bahasa Arab juga berkembang pesat di daerah penaklukan muslim, yang akhirnya menjadikannya sangat kaya dan cocok dengan ekspresi abstrak bahasa Yunani.
Kedua, kata Fathul, pada abad ketiga sampai kelima setelah Islam hadir, banyak muslim kelas menengah yang mempunyai sumber daya dan minat tinggi dalam mempelajari ilmu pengetahuan. Pada saat itu, sebagaimana dicatat oleh sejarah, daulah memberikan tempat yang terhormat untuk ilmu pengetahuan Yunani. Penyebaran ilmu pengetahuan menjadi luas karena dorongan dan sambutan kelas menengah muslim.
Sementara Komaruddin Hidayat mengatakan perluasan wilayah Islam, ekspresi keislaman diperkaya oleh khazanah peradaban baru. Seiring dengan kemunculan kembali ideologi kabilahisme.
Selain itu, sikap keterbukaan umat Islam telah melahirkan peradaban baru yang tidak dikenal di wilayah Makkah-Madinah yang mengantarkan inovasi keilmuan. Namun perpecahan politik dunia Islam dan melemahnya etos filsafat-keilmuan yang bertahan adalah ilmu fiqih dan tasawuf.
Sedang prestasi keilmuan yang diwariskan dunia Islam justeru dikembangkan di Eropa. Ilmu alam, ilmu sosial dan humaniora lalu terpisahkan dari ranah keislaman, sehingga bangunan keilmuan dan peradaban dalam Islam semakin menyempit.
“Baik ilmu alam, ilmu sosial, humaniora dan teologi kesemuanya membahas ayat-ayat Tuhan tapi dengan metode berbeda. Namun cabang-cabang ilmu selain teologi dan fiqih dipandang sebagai ilmu umum atau sekuler, yang kebetulan dikembangkan oleh bangsa-bangsa yang menang dan maju secara ekonomi dan politik,” kata Komaruddin Hidayat.