YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Prof Dr Moh Mahfud MD, pakar hukum tata negara menadaskan para ulama yang ikut mendirikan dan membangun Indonesia menyatakan negara Pancasila merupakan final dan tidak bertentangan dengan syariah. Karena itu, Negara Pancasila harus diterima sebagai mietsaaqon ghaliedzaa atau kesepakatan luhur bangsa.
Moh Mahfud mengatakan hal tersebut pada diskusi dan buka bersama Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta di Bale Raos Restorant, Kamis (7/6/2018). Selain Mahfud, diiskusi yang mengangkat tema ‘Antisipasi dan Mencegah Gerakan Terorisme: Apa yang Harus Dilakukan?’ menampilkan pembicara Prof Dr Edy Suandi Hamid, Rektor UWM; Herry Zudianto SE,Akt, MM, Ketua Majelis Penguru ICMI DIY; Kombes Pol Hadi Utomo, Direktur Reserse dan Kriminal Umum (Diresklimum) Polda DIY; Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Syafaatun Almirzanah.
Lebih lanjut Mahfud menandaskan Negara Pancasila berbasis pluralisme, Bhineka Tunggal Ika, sudah kompatibel dengan realitas keberagaman dari bangsa Indonesia. “Di dalam sumber primer ajaran Islam, Alquran dan sunah Nabi Muhammad SAW, tidak ada ajaran sistem politik, ketatanegaraan dan pemerintahan yang baku,” kata Mahfud, anggota Tim Konsultan Ahli Badan Pembina Hukum Nasional (BPHN) Depkum HAM RI ini.
Di dalam Islam, kata Mahfud, ada ajaran hidup bernegara dan istilah khilafah. Sistem dan strukturisasinya tidak diatur dalam Alquran dan Sunah, tetapi diserahkan kepada kaum Muslimin sesuai dengan tuntutan tempat dan zaman.
Di antara empat khalifah rasidah atau Khulafa’al Rasyidin sistemnya berbeda-beda. “Tampilnya Abu Bakar sebagai khalifah memakai cara pemilihan, Umar bin Khatab ditunjuk oleh Abu Bakar, Utsman ibn Affan dipilih oleh formatur beranggotakan enam orang yang dibentuk Umar. Bagitu pula Ali ibn Abi Thalib yang keterpilihannya disusul perpecahan yang melahirkan khilafah Bani Umayyah,” katanya.
Mahfud menilai kalau ide khilafah diterus-teruskan yang terancam perpecahan bukan hanya bangsa Indonesia, melainkan di intern umat Islam sendiri. Sebab kalau ide khilafah diterima, di internal umat Islam akan muncul banyak alternatif yang tidak jelas karena tidak berdasarkan Alquran dan Sunah.
Sedang Edy Suandi Hamid mengatakan munculnya paham radikalisme dipicu adanya ketidakadilan, ketimpangan, kemiskinan. Selain itu, juga adanya pembelokan ajaran agama yang menyesatkan dan mempertajam perbedaan di dalam masyarakat.
“Karena itu, hulu dari praktik yang memunculkan sikap intoleransi harus dikikis. Jika tidak sikap intoleransi bisa menjadi sesuatu yang destruktif dan akan berevolusi menjadi paham radikal. Paham radikal yang negatif bisa bertransformasi menjadi gerakan teror,” kata Edy.
Di perguruan tinggi, jelas Edy, sejak mahasiswa masuk harus ditanamkan nilai-nilai toleransi. Usia mahasiswa merupakan usia yang sedang mencari jati diri. Usia seperti ini sangat rentan dimasuki paham-paham yang bisa menyesatkan dan mudah terstimulus menerima paham yang radikal. Mereka gampang memberontak ketika dijejalka isu ketidakadilan.