Nurul Indarti Guru Besar Kewirausahaan Pinggiran UGM

Prof Nurul Indarti saat menyampaikan pidato pengukuhan di Balai Senat UGM Yogyakarta, Selasa (27/8/2024). (foto : istimewa)
Prof Nurul Indarti saat menyampaikan pidato pengukuhan di Balai Senat UGM Yogyakarta, Selasa (27/8/2024). (foto : istimewa)

YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Kewirausahaan etnis, perempuan, dan sosial sering kali dipinggirkan atau termarginalisasi karena berbagai faktor struktural dan kultural. Sehingga kewirausahaan pinggiran ini menghadapi berbagai hambatan yang membatasi akses mereka terhadap peluang dan sumber daya yang biasa dinikmati oleh kelompok mayoritas.

Prof Nurul Indarti, Sivilokonom, Cand Merc, PhD, mengemukakan hal tersebut pada pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) di Balai Senat UGM Yogyakarta, Selasa (27/8/2024). Nurul Indarti merupakan guru besar perempuan pertama dalam bidang manajemen di UGM.

Bacaan Lainnya

Nurul Indarti menyampaikan pidato pengukuhan berjudul ‘Melihat Kewirausahaan dari Pinggiran: Perspektif Etnis, Perempuan, dan Sosial.’ Kewirausahaan etnis, kewirausahaan perempuan, dan kewirausahaan sosial merupakan kewirausahaan pinggiran. Sebab ketiga topik tersebut tidak menjadi arus utama yang mendominasi diskusi dalam kajian kewirausahaan.

Lebih lanjut Nurul Indarti yang juga Kepala Departemen Manajemen FEB UGM ini menjelaskan wirausaha pinggiran mencakup minoritas etnis, perempuan, individu dari latar belakang sosial ekonomi rendah. Selain itu, juga individu dengan disabilitas sering menghadapi bias dan prasangka yang dapat membatasi peluang mereka.

“Perempuan wirausaha mungkin berjuang dengan bias gender yang menghalangi akses mereka ke jejaring bisnis dan peluang mendapatkan mentor. Demikian pula, wirausaha minoritas etnis berpeluang menghadapi tantangan dalam berintegrasi ke dalam pasar utama karena hambatan budaya dan bahasa serta praktik diskriminatif yang membatasi peluang bisnis mereka,” jelas Nurul.

Menurut Nurul kewirausahaan yang termarginalisasi bukan hanya tentang penciptaan usaha baru, tetapi juga tentang pemberdayaan sosial dan ekonomi bagi kelompok-kelompok yang kurang terwakili. Dengan memahami tantangan dan hambatan yang dihadapi oleh wirausaha termarginalisasi, kedepan dapat dikembangkan strategi yang lebih inklusif untuk mendukung dan mendorong partisipasi mereka dalam ekosistem kewirausahaan.

“Dalam literatur kewirausahaan perlu juga mempertimbangkan konteks perilaku kewirausahaan seperti lingkungan, budaya, dan sebagainya. Perubahan fokus ini penting dilakukan karena mengkaji kewirausahaan etnis, perempuan, dan sosial dalam konteksnya membantu memperkaya pemahaman kita tentang kewirausahaan secara keseluruhan,” katanya.

Selama ini, Nurul Indarti giat mendorong dan memperjuangkan kebijakan yang ramah bagi kelompok kewirausahaan pinggiran dalam berwirausaha. Selain itu, juga aktif dalam proses pengembangan kurikulum kewirausahaan menjadi kurikulum wajib bagi mahasiswa Program Sarjana Program Studi Manajemen pada tahun 2004 silam.

Di Magister Manajemen UGM, Nurul mengembangkan konsentrasi kewirausahaan sejak tahun 2011. Saat ini, ia aktif menginisasi kurikulum keberlanjutan pada Program Master in Sustainability Development and Management (MASUDEM) MM FEB UGM.

Untuk meraih gelar Guru Besar, Nurul harus berjuang dengan penuh kesabaran. Ia mengajukan usulan guru besar pada tahun 2017 namun belum lolos di tingkat universitas. Ia pun kembali mengajukan usulan guru besar pada tahun 2019 dan akhirnya pada tahun 2020 secara resmi Nurul mendapatkan Surat Keputusan (SK) Guru Besar.

“Guru besar itu bukan tujuan, tetapi konsekuensi dari menjalankan tanggungjawab dengan baik sebagai dosen yang diikat oleh tridharma yang core-nya berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan. Ketika kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat dijalankan dengan baik maka yang lain akan mengikuti, termasuk jabatan guru besar,” kata Nurul yang mengawali karir sebagai dosen di FEB UGM sejak Desember 1998 silam.

Nurul mengatakan dengan mengemban jabatan sebagai guru besar, tanggung jawab untuk berkontribusi di bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat semakin besar. “Bukan berarti menjadi guru besar harus menjadi yang terdepan. Tetapi seorang guru besar harus bisa menjadi teladan bagi mahasiswa dan memiliki nilai bagi dunia akademik,” katanya. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *