Oleh :
Augita Tri Clara S.D.R.
Hizkia Andrian Kristianto
‘Omnibus’ dalam Bahasa Perancis memiliki arti bus yang dapat digunakan untuk mengangkut penumpang dalam jumlah banyak. Dalam kaitannya dengan mekanisme pembentukan Undang-undang (UU), Omnibus dapat dikatakan sebagai transportasi yang mengangkut beberapa peraturan dan menggabungkannya ke dalam satu UU. Hal inilah yang menjadi latar belakang mengapa Omnibus Law disebut sebagai undang-undang sapu jagat.
Omnibus Law diterapkan untuk menyempurnakan dan menyederhanakan UU yang tumpang tindih. Namun pada kenyataannya Omnibus Law malah menjadi sebuah kekacauan dalam masyarakat.
Sejumlah pasal fundamental tengah menjadi sorotan karena beberapa pasal di dalamnya membawa dampak bagi lingkungan. Saat ini UU Cipta Kerja menjadi salah satu yang paling disoroti masyarakat. Padahal sejatinya pembentukan UU ini memiliki tujuan postif, mulai dari pembentukan lapangan kerja hingga percepatan investasi.
Lantas mengapa Omnibus Law banyak ditentang oleh masyarakat? Tentunya hal ini tidak bisa lepas dari adanya resistensi di dalamnya yang ada kesalahpahaman tentang perubahan, kurangnya kompetensi menimbulkan rasa khawatir, dan masyarakat yang tidak diajak berdialog sehingga membuat banyak orang menentang dan mempertahankan status quo.
Tidak hanya masyarakat yang menjadi korban bahkan lingkungan pun tidak luput dari imbas UU Cipta Kerja. Pengaturan mengenai penyederhanaan izin usaha serta pengadan lahan banyak menyinggung soal regulasi di sektor kehutanan dan lingkungan. Perubahan terjadi dalam UU No.4 tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berikut beberapa poin yang berubah, antara lain:
Akses Terbuka Pemanfaatan Hutan
Peraturan mengenai pemanfaatan hutan telah tercantum lengkap dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Namun dengan adanya UU Cipta Kerja ini, segala mekanisme perizinan pemanfaatan kawasan hutan disederhanakan menjadi suatu perizinan berusaha.
Hal ini mengakibatkan tercabutnya pasal 27-29 UU No.41 Tahun 1999. Kemudahan dalam pemberian izin berusaha tanpa membertimbangkan aspek ekologis dapat membawa dampak lingkungan ke depannya.
AMDAL Dihilangkan
Selain UU No.41 tahun 1999, UU No. 32 tahun 2009 juga terkena imbas dari UU Cipta Kerja. Dalam UU Cipta Kerja, adanya pencabutan terminologi izin lingkungan yang membawa dampak pada berubahnya posisi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). AMDAL bukan lagi menjadi hal wajib dalam pengambilan keputusan kelayakan izin usaha, namun hanya digunakan sebagai bahan pertimbangan.
Di balik kontroversialnya Omnibus Law, beberapa pihak menjadi stakeholder yang resisten atas pemberlakuan UU Cipta Kerja. Mulai dari masyarakat umum, kaum buruh, pekerja hingga mahasiswa merasa tidak setuju atas peraturan baru yang diciptakan. Merasa bahwa peraturan yang ditetapkan tidak berpihak kepada rakyat, masyarakat di berbagai kalangan. Sehingga mereka mulai turun dan menyuarakan ketidaksetujuannya atas UU yang dirancang.
Untuk dapat mengatasi sikap resistensi yang ada di berbagai pihak, sangat perlu dilakukannya metode serta beberapa program yang tepat agar stakeholder yang resisten dapat menerima Omnibus Law. Edukasi dan komunikasi merupakan dua hal intensif dengan pemerintah yang dapat diterapkan. Adanya partisipasi dan keterlibatan aktif setiap stakeholder mempunyai peran penting dalam berlakunya rencana suatu perubahan yang nantinya menyebabkan sikap penolakan semakin berkurang.
Melakukan manipulasi dalam konteks positif dan pilihan bersama dengan cara memanipulasi upaya terjadinya perubahan. Kemudian untuk pilihan bersama dapat menggunakan metode netral berdasar tingkat menentangnya melalui Co-option dan melibatkan pihak yang tidak akan terlibat sebagai mediator.
Selanjutnya adalah negosiasi dan banding, hal ini dilakukan dengan program stakeholder yang terlibat dalam Omnibus Law. Mereka dipanggil untuk berdiskusi dan bernegosiasi sampai menemukan titik temu dari masalahnya dan kemudian berakhir dengan kesepakatan yang bervariasi dengan kewenangan yang dipegang agen perubahan suatu masalah.
Metode terakhir adalah paksaan secara eksplisit maupun implisit. Hal ini dapat dilakukan jika kelima metode diatas tidak berhasil untuk mengatasi resistensi yang ada. Program yang dilakukan seperti menggunakan kekuatan, menggunakan birokrasi sampai pada memanfaatkan tokoh penting.
Secara umum Omnibus Law mencerminkan kepentingan ekonomi pemerintah yang tidak sejalan dengan komitmen menjaga sumber daya alam (SDA) dan lingkungan secara lestari. Dominansi ekonomi sangat terlihat kepentingan lingkungan, hal ini memberikan bukti bahwa pemerintah menggunakan kekuasaannya untuk membuka pintu eksploitasi SDA secara terbuka dan bertahap. Pembentukan dan pengesahan berbagai peraturan yang tidak mempertimbangkan lingkungan hidup merupakan titik awal di mana potensi kerusakan lingkungan semakin besar.
Augita Tri Clara S.D.R. dan Hizkia Andrian Kristianto, adalah mahasiswa Fakultas Bioteknologi, Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta.