YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Pemerintah wajib menyamarkan identitas pemilik data yang akan ditampilkan di portal-portal keterbukaan data (open data portal). Hal ini dimaksudkan agar privasi pemilik data terlindungi dan pemerintah tidak terkena somasi.
“Identitas yang disamarkan meliputi, nama, alamat, kota, nomor telepon, email, faximil. Jika bertransaksi jual beli, baik identitas penjual dan pembeli harus dilindungi,” kata Dr Ahmad Luthfi, Dosen Program Studi Informatika, Program Magister, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam Indonesia (FTI UII) mengungkapkan hal tersebut kepada wartawan di Yogyakarta, Selasa (26/4/2022).
Temuan tersebut merupakan hasil penelitian desertasi untuk meraih gelar doktor di Delft University of Technology (TU Delft) Belanda akhir tahun 2021 lalu. Berdasarkan temuan tersebut, Luthfi mengusulkan perlu mengembangkan sistem pendukung keputusan untuk menimbang manfaat dan risiko dalam membuka data pemerintahan.
Terdapat dua kontribusi utama dalam pembangunan sistem pendukung keputusan ini. Pertama, sistem dapat menimbang dan mengklasifikasi tingkat potensi manfaat dan risiko dari kumpulan data, sehingga pengambil keputusan dapat menentukan arah kebijakan apakah bisa melepas kumpulan data tersebut.
Kedua, sistem juga menyediakan beberapa alternatif keputusan lain dalam membuka data seperti memberikan batasan akses kepada pihak yang berkepentingan, dan juga melakukan perlakuan khusus terhadap data melalui mekanisme anonimisasi dan teknik penyamaran nilai data lainnya.
“Dengan demikian, sistem ini dapat memberikan preferensi yang lebih ilmiah, komprehensif dan moderat jika dibandingkan pengambilan keputusan berdasarkan sistem binari yaitu buka dan tutup data,” harap Luthfi yang didampingi Izzati Muhimmah, ST, MSc, PhD Ketua Program Studi Informatika, Program Magister FTI UII.
Dijelaskan Luthfi, dalam kurun waktu satu dasawarsa terakhir, pemerintah telah berinisiatif membuka data melalui portal-portal keterbukaan data (open data portal). da tiga alasan pemerintah menampilkan data ke portal-portal publik. Pertama, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, Kedua, mendorong keterlibatan publik dalam pengambilan keputusan. Ketiga, menciptakan nilai atau inovasi yang lebih baik.
Namun di balik itu, ada resiko yang harus dihadapi. Di antaranya, pelanggaran privasi, data yang tidak akurat, kesalahan dalam interpretasi data, dan kemungkinan penyajian data yang terduplikasi atau tumpang tindih.
Ada tiga resiko lain, kata Luthfi, yang bakal dihadapi pemerintah yaitu pertama, proses pengambilan keputusan pembukaan data ke publik melibatkan pemangku kepentingan yang memiliki latar belakang heterogen, pengetahuan dan pengalaman empiris yang tak sebanding, tujuan yang beragam, dan juga kepentingan berjarak. “Kurangnya wawasan dan keahlian dalam memprediksi sebab dan akibat dari pembukaan data juga dapat menciptakan ketidakpastian, yang mungkin berdampak penghindaran pengungkapan kumpulan data,” kata Luthfi.
Kedua, budaya menghindari risiko yang melekat pada pengambil keputusan berpotensi lebih kuat dibandingkan pemahaman kemuliaan dari melepas kumpulan data. “Bagi penyedia data, jauh lebih mudah membuat keputusan untuk menjaga data tetap tertutup daripada mengambil risiko melepas datanya,” katanya.
Ketiga, pemerintah belum memiliki sistem untuk mengidentifikasi dan menimbang manfaat, risiko, dan biaya dari pembukaan data. Konsekuensinya, proses pengambilan keputusan menjadi lambat dan kabur, sehingga tujuan mulia dari keterbukaan data ke publik tidak tercapai.