YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Pemerintah wajib memantau perencanaan, pengelolaan dan pengendalian rantai pasok (supply chain manajement) industri strategis. Sehingga seluruh anggota masyarakat dapat menikmati produksi industri strategis tersebut, seperti diamanatkan pada pasal 33 UUD 1945.
Demikian diungkapkan Joko Sulistio, ST, MSc, MT, Dosen Program Studi Teknik Industri, Program Sarjana Fakultas Teknologi Industri (FTI) dan Andrie Pasca Hendradewa, ST, MT, Manajer Akademik Keilmuan Prodi Teknik Industri, Program Magister FTI Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta, Rabu (27/2/2019). Kesimpulan tersebut dikemukakan Joko Sulistio dan Andrie Pasca Hendradewa setelah melakukan penelitian tentang ‘Pengembangan Model Pengukuran Kinerja Rantai Pasok, Sesuai dengan Nilai-Nilai di dalam Pasal 33 UUD 1945.’
Lebih lanjut Joko mengungkapkan pasal 33 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 menyatakan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara. Pada pasal selanjutnya dikatakan, bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Pasal 33 UUD 45, kata Joko, dengan jelas menyatakan semua faktor produksi yang memiliki peran penting dalam peri kehidupan bermasyarakat di wilayah Republik Indonesia akan dikuasai negara. Sedang hasil produksinya dipergunakan untuk kemakmuran rakyat Indonesia.
Kemudian Undang-undang No 3 tahun 2014 tentang perindustrian pasal 84 menyatakan cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak merupakan industri strategis. “Dalam konteks operasional, pemerintah bertanggung jawab atas ekplorasi, eksploitasi, produksi dan distribusi dari cabang produksi tersebut,” tandas Joko.
Berdasarkan undang-undang tersebut, kata Joko, pemerintah bertanggung jawab penuh atas perencanaan, pengelolaan dan pengendalian rantai pasok (supply chain management) industri strategis di Indonesia. “Penelitian ini mendiskusikan performance measurement,karena sistem akan sulit untuk ditingkatkan kinerjanya apabila tidak memiliki indikator yang terukur, demikian juga dalam SCM (Supply Chain Management),” katanya.
Menurut Joko, dengan Grounded Theory, penelitian ini menghasilkan framework pengukuran kinerja yang sesuai dengan prinsip-prinsip dalam pasal 33 UUD 1945. Framework pengukuran kinerja rantai pasok diturunkan dari pembukaan UUD 1945 dan pasal 33 UUD 1945 perubahan keempat.
“Framework disusun dalam bentuk fungsional untuk memastikan peranan pihak-pihak yang terlibat di rantai pasok. Model pengukuran rantai pasok terdiri dari dua hal yaitu atribut kinerja dan indikator kunci,” jelasnya.
Sedang atribut kinerja yang ditawarkan, dalam model ini adalah Kepemilikan (Percent Government Ownership), Keandalan (Perfect Order Fulfillment, Delivery Cycle Time, Service Level), Kelestarian (Total Carbon Footprint) dan Biaya (Total Cost to Serve (CTS).
“Framework ini baru saja dibangun melalui penelitian ini secara teoritis. Tahapan selanjutnya adalah mengujinya dengan menerapkan di salah satu industri strategis secara empirik,” jelasnya.