YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Pendidikan Islam di era 4.0 perlu mendisrupsi diri agar memperkuat eksistensinya. Mendisrupsi diri berarti menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat serta berorientasi masa depan. Selain itu, juga ikut mengkonstruk keilmuan yang dibangun Perguruan Tinggi Islam dengan kebutuhan era 4.0 dan tidak meninggalkan nilai-nilai pendidikan humanis di dalamnya.
Demikian benang merah Bedah Buku seri 3 ‘Nilai-nilai Pendidikan Humanis Pemikiran Soedjatmoko dan Implikasinya terhadap Pendidikan Islam di Perguruan Tinggi’ karya Khairun Nisa MPd, Senin (22/6/2020). Bedah buku diselenggarakan Program Studi Magister Ilmu Agama Islam (MIAI), dan Program Studi Doktor Hukum Islam (DHI), Fakultas Ilmu Agam Islam, Universitas Islam Indonesia (FIAI UII) Yogyakarta.
Bedah buku menampilkan pembicara penulis buku, Khairun Nisa MPd, pembedah Fungki Febiantoro MPd, alumni MIAI FIAI UII; Dr Lukis Alam, MEng, MSi, dosen PAI Institut Teknologi Nasional Yogyakarta. Sedang moderator Alfian Yusni Ristanto, mahasiswa Prodi MIAI FIAI UII.
Khairun Nisa menjelaskan era globalisasi menyebabkan perubahan yang masif dalam peradaban manusia. Pergaulan global dirumuskan dengan kompetisi ekonomi dan perdagangan industri revolusi 4.0 berbarengan revolusi informasi dan komunikasi. Hal ini memberikan tantangan dan peluang bagi Pendidikan Islam di Perguruan Tinggi.
“Islam sebagai ajaran suci sangat memperhatikan kearifan kemanusiaan sepanjang zaman. Memberikan perlindungan dan jaminan nilai-nilai kemanusiaan kepada setiap umat dengan mengakui, menjaga, dan menetapkan kehormatan diri,” kata Khairun Nisa.
Tuntutan ini, jelas Nisa, merupakan cara mewujudkan sisi kemanusiaan yang menjadi tugas pokok dalam membentuk dan melangsungkan hidup umat manusia. Pendidikan Islam dalam lintasan sejarah, telah mengarah pada proses humanisasi. Hal ini sejalan dengan makna dasar humanisme sebagai pendidikan manusia. Sistem pendidikan dalam Islam yang dibangun atas dasar nilai-nilai humanistik sejak awal kemunculannya sesuai dengan esensinya sebagai agama kemanusiaan. Islam menjadi dimensi kemanusiaan sebagai orientasi pendidikannya.
“Hakikat pendidikan sebagai proses pemanusian manusia (humanisasi) sering tidak terwujud karena terjebak pada penghancuran nilai kemanusiaan (dehumanisasi). Hal ini merupakan akibat adanya perbedaan antara konsep dengan aplikasi dalam lembaga Pendidikan,” kata Nisa.
Kesenjangan ini mengakibatkan kegagalan pendidikan dalam mencapai misi sucinya yaitu untuk mengangkat harkat dan martabat manusia. Pembicaraan perihal human (manusia) sebagai subjek didik dalam proses pendidikan yang berupaya memperdayakan dan mengoptimalkan semua potensi, menjadi kunci strategis dalam membangun masyarakat yang berkualitas.
Perguruan Tinggi mempunyai peran strategis sebagai sarana human resources dan human investment. Artinya, pendidikan selain bertujuan menumbuh kembangkan kehidupan yang lebih baik, juga ikut mewarnai dan menjadi landasan moral dan etika dalam proses pemberdayaan jati diri bangsa.
“Problematika Pendidikan Islam cukup kompleks yakni pendidikan tanpa membawa semangat humanisasi, mengalami proses pereduksian makna, menekankan pengajaran terbatas transfer of knowledge, tanpa budaya kritis, partisipatif, kontekstual, dan analisis. Sehingga menguburkan potensi (fitrah) tanpa mengintegralkan antara transfer of knowledge, transfer of value and transfer of culture,” ujarnya.
Hal ini, lanjut Nisa, berakibat terjadi pendangkalan pendidikan secara praktis, sehingga mengalami disorientasi dan condong memiskinkan serta mengkerdilkan makna Pendidikan Islam sendiri. Akibatnya terjadi transformasi budaya yang bermakna dekaden, yaitu budaya kritis menjadi budaya opurtunis dan pragmatis serta berakibat degradasi moral.
Menjadi sorotan tajam tertuju kepada Perguruan Tinggi, menyangkut kualitas penyelenggaraan pendidikan itu sendiri maupun kualitas lulusan yang dihasilkannya. Tingginya angka pengangguran intelektual, kurangnya kemandirian lulusan, mahalnya biaya pendidikan, dan terjadinya praktik-praktik kekerasan dalam lingkungan kampus maupun terjadinya kasus-kasus yang jauh dari nilai-nilai humanis menunjukkan betapa kompleksnya permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan khususnya pendidikan tinggi.
Perguruan Tinggi harus menjadi tempat belajar yang ramah, melahirkan peserta didik yang kompeten, baik dari segi keilmuan, keahlian yang beroritentasi pada kehidupan individualnya maupun kaitannya dengan kehidupan masyarakat yang lebih luas dengan menganut sistem pemanusiaan manusia yang unik, mandiri dan kreatif dalam proses pembelajaran di dalamnya. Memandang manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan dengan segala fitrahnya dengan menjalankan fungsi kemananusiaan yang diemban sebagai seorang hamba (abd) dan khalifah fil ard.
Maka, agar mampu pendidikan merealisasikan cita-cita tersebut maka diperlukan upaya perbaikan sistematis menunju pendidikan yang bersifat holistik, integratif dan sistemik dengan mengembalikan pendidikan pada visi dan tujuan semula sebagai proses humanis yang di orientasikan untuk pengembangan potensi (fitrah) yang di miliki manusia atau melakukan proses humanisasi dalam pelaksanaan pendidikan yang didasari dengan nilai-nilai keislaman agar tercapai membangun manusia sebagai insan kamil.
Dalam pemikiran Soedjatmoko, kata Nisa, peran Perguruan Tinggi vital dalam meningkatan kemampuan untuk terus memperbarui diri dan mendorong kemajuan pembangunan serta ikut serta memecahkan masalah hubungan dengan keadilan sosial dan kesempatan kerja melalui program yang terencana dan di jalankan secara sistematis. “Dengan cara itu, Perguruan Tinggi dapat mengembangkan pelbagai kemampuan yang merupakan prasyarat untuk meningkatkan kemerdekaan dan kebebasan Indonesia untuk memilih sesuai nilai-nilainya di dalam dunia yang saling tergantung pada masa modern ini,” katanya.
Pendidikan agama, tambah Nisa, harus mampu memupuk dan meningkatkan kesadaran agama peserta didiknya. Sehingga generasi bangsa mampu menginternalisasi sekaligus aktualisasi dari pemahaman akan nilai-nilai agama dalam kehidupan berbangsa. Selain itu, pendidikan agama juga patut meningkatkan kemampuan bangsa untuk melihat pembangunan dalam perspektif transendental dengan menjadikan iman sebagai sumber motivasi dan menjadikan iman sebagai nilai dasar (fundamental value) dalam menyelami dan menghayati ilmu pengetahuan modern.
“Rasa penghargaan yang tinggi terhadap realitas kemanusiaan (humanisme) merupakan tujuan dari pendidikan. Humanisme muncul dari sebuah doktrin yang menekankan kesejahteraan manusia (humanitarianisme). Humanitarianisme menurut Soedjatmoko merupakan kelanjutan dari humanisme dan memiliki orientasi dasar ke arah kebebasan dan kesejahteraan manusia,” katanya.