YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Penegakan Peraturan Daerah (Perda) Nomor1 Tahun 2014 mengenai gelandangan dan pengemis di Pemerintah Kota, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) belum mencerminkan kaidah hak azasi manusia (HAM) sepenuhnya. Namun bila ditinjau dari Maqāsid Asy-Syarī’ah, implementasi, dan implikasi program pemerintah tersebut sudah sesuai.
Ahmad Syafi’i Rahman mengemukakan hal tersebut pada ujian terbuka desertasi pada Program Studi Doktor Hukum Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia (DHI FIAI UII) Yogyakarta, Kamis (3/12/2020). Ahmad Syafi’i Rahman mengangkat judul desertasi ‘Efektivitas Perda Pemerintahan Kota DIY No. 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis Perspektif Hak Azasi Manusia dalam Tinjauan Maqosid Asy-Syari’ah.’
Desertasi tersebut dipertahankan di depan tim penguji melalui dalam jaringan (Daring) agar tidak terjadi penularan Covid-19. Tim penguji terdiri Dr. Tamyiz Mukharrom, MA (Ketua); Dr M Roy Purwanto, MA (Sekretaris); Prof Dr Abd Salam Arief, MA (Penguji 1); Dr Drs Muntoha, S.H., M.Ag (Penguji2); Dr M Muslich, KS, MAg (Penguji 3). Sedang Promotor Prof Dr Amir Mu’allim, MIS dan Co-Promotor Dr Drs Yusdani, MAg.
Dijelaskan Ahmad Syafi’i Rahman, prinsip-prinsip HAM sangat diperlukan sebagai pegangan umat Islam dalam menghadapi perkembangan zaman. Khususnya, dalam mengatur masyarakat Islam sesuai dengan tuntutan zaman. Setidaknya ada lima prinsip yaitu (1) Hak perlindungan terhadap jiwa atau hak hidup; (2) Perlindungan keyakinan; (3) Hak perlindungan terhadap akal pikiran; (4) Perlindungan terhadap hak milik; (5) Hak berkeluarga atau hak memperoleh keturunan dan mempertahankan nama baik.
“Implementasi Perda di lapangan, Pemerintahan Kota DIY menggunakan pendekatan preventif, koersif, rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Cara ini belum mencerminkan kaidah HAM,” kata Ahmad.
Dijelaskan Ahmad Syafi’i, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2016, dari enam Provinsi di Pulau Jawa, tiga di antaranya memiliki angka kemiskinan di atas rata-rata nasional. Ketiga provinsi adalah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) (13,20 persen), Jawa Tengah (13,15 persen) dan Jawa Timur (12 persen).
“Penelitian ini terkait di Tahun 2014 Pemerintah DIY menerbitkan kebijakan yang dinilai represif terhadap kaum miskin kota, yaitu Peraturan Daerah Provinsi DIY Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis,” kata Ahmad.
Aturan ini, lanjut Ahmad, mulai resmi diterapkan sejak 1 Januari 2015. Kebijakan ini hanya seolah-olah ingin mengurangi keberadaan kaum miskin di kota yang terstereotipkan sebagai gelandangan dan pengemis di jalanan.
Implementasi pasal tersebut yang semena-mena dan telah menyebabkan ketimpangan relasi kuasa (power of relation) antara Aparat Penegak Hukum (Satuan Polisi Pamong Praja) dan kaum gelandangan dan pengemis. Sehingga penegakannya menciptakan pelanggaran HAM yang dilakukan secara langsung (by commission) oleh negara.
Sedang dari tinjauan Maqāṣid Asy-Syarī‘ah, implementasi dan implikasi program pemerintah gelandangan dan pengemis telah sesuai. Pemerintahan Kota DIY telah melakukan pemeliharaan agama (ḥifẓ ad-Dīn) melalui dukungan kegiatan keagamaan di camp assessment dan pembinaan keagamaan., akal (ḥifẓ al-‘Aql) melalui akses pendidikan dan perubahan pola mental dan ekonomi.
Selain itu, Pemerintahan Kota DIY telah melakukan pemeliharaan jiwa (ḥifẓ an-Nās) melalui akses kesehatan secara kontinyu; pemeliharaan keturunan (ḥifẓ an-Nasl) penjagaan atas kesehatan dan keselamatan dengan mendapat akses pendidikan mental yang berimplikasi pada keturunan mereka; pemeliharaan harta (ḥifẓ al-Māl) melalui bantuan dan jaminan sosial.
“Upaya penanggulangan gelandangan dan pengemis tidak boleh mengabaikan prinsip-prinsip Maqāṣid Asy-Syarī’ah (tujuan hukum). Selain itu, juga tidak boleh melampaui batas (menghardik), dan upaya-upaya menjaga kepentingan kemanusiaan itu sendiri. Juga tidak berdampak pada rusaknya mental dan fisik mereka,” katanya.