YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Adanya Undang-undang nomor 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro sistem pengawasan Baitul Maal wat Tanwil (BMT) diatur secara rigid, terstruktur dan memiliki standar baku. Pengawasan dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian Koperasi, dan dapat didelegasikan kepada pemerintahan daerah kabupaten atau lembaga yang ditunjuk.
Slamet Mujiono, Dosen Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama (IAINU) Kebumen, Jawa Tengah mengemukakan hal tersebut pada ujian terbuka promosi doktor pada Program Studi Doktor Hukum Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia (DHI FIAI UII) Yogyakarta, Kamis (3/12/2020). Ujian promosi doktor ini dilaksanakan secara Daring (dalam jaringan) dimaksudkan untuk menghindarkan penularan virus Covid-19 di lingkungan Kampus UII.
“Eksistensi pengawasan menunjukan adanya relasi sebab akibat terhadap muatan hukum materil dengan kinerja BMT. Pengawasan dengan standar baku berdampak kepada perlindungan hukum kelembagaan dan konsumen,” kata Slamet Mujiono.
Slamet Mujiono mengangkat judul desertasi ‘Eksistensi Pengawasan Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) Sebelum dan Sesudah Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro dalam Perspektif Negara Hukum.’ Desertasi tersebut berhasil dipertahankan di depan tim penguji.
Tim penguji terdiri dari Prof Fathul Wahid, ST, MSc, PhD (Rektor UII/Ketua); Dr Drs Yusdani, MAg (Sekretaris); Prof Dr Amir Mu’allim, MIS (Penguji 1); Drs Agus Triyanto, MHum, MA, PhD (Penguji 2); Dr Nur Kholi, SAg, SEI, MSh.Ec (Penguji 3). Sedang Promotor, Prof Dr H Abd Salam Arief, MA, dan Co-Promotor, Dr Rahmani Timorita Yulianti, MAg.
Dijelaskan Slamet Mujiono, pengawasan BMT sebagai lembaga keuangan mikro syari’ah sebelum Undang-undang Nomor 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro terbentur status badan hukum. Saat itu, lembaga keuangan mikro diatur dalam Undang-undang Nomor 25 tahun 1992 tentang perkoperasian.
“Minimnya, landasan yuridis formal, BMT memposisikan kelembagaan, pembinaan, dan pengawasan mengikuti bentuk swadaya masyarakat. Sehingga BMT belum memiliki standarisasi sistem pembinaan dan pengawasan yang baku,” kata Slamet Mujiono.
Sebagian besar, kata Slamet Mujiono, BMT mengikuti pola Koperasi Jasa Keuangan Syari’ah (KJKS) dan Unit Jasa Keuangan Syariah (UJKS) berbadan hukum koperasi. Ada beberapa bertransformasi menjadi dan mengikuti sistem pengawasan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) dan lembaga swadaya masyarakat.
Undang-undang Nomor 1 tahun 2013, kata Slamet Mujiono, mengatur pengawasan dan evaluasi operasional syari’ah dilakukan Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) yang dibentuk oleh BMT dan Otoritas Jasa Keuangan. Ada dua sistem pengawasan yaitu pengawasan usaha keuangan berbasis prinsip syari’ah dan pengawasan audit keuangan pada sektor standar akutansi yang berhubungan dengan transaksi syari’ah. Pengawasan dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama Departemen Koperasi dan dapat didelegasikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
“Kehadiran UU tentang Lembaga Keuangan Mikro dapat memberikan rasa keadilan pada konsumen BMT. Apabila terjadi kerugian atau hal-hal yang menyimpang, maka konsumen BMT dapat menuntut ganti rugi, pertanggungjawaban yang dapat dilakukan secara langsung kepada OJK atau tuntutan Pengadilan Perdata. Bila terbukti, OJK dapat menjatuhkan sanksi kepada BMT,” katanya.