YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Motivasi internal, baik itu sikap (attitudes) maupun kenikmatan yang dirasakan (perceived enjoyment) merupakan faktor yang paling berpengaruh atas penerimaan m-learning di kalangan pelajar sekolah menengah di Indonesia. Untuk kesuksesan penerapan m-learning, dibutuhkan dukungan lingkungan sosial.
Demikian hasil penelitian Ahmad Raf’ie Pratama, PhD, dosen Program Studi Teknik Informatika Program Magister, Fakultas Teknologi Industri, Universitas islam Indonesia (FTI UII) kepada wartawan di Yogyakarta, Kamis (19/9/2019). Penelitian tersebut dituangkan dalam desertasi berjudul ‘Mobile Device and Mobile Learning among Secondary School Students in Indonesia’ dan dipertahankan di State University of New York – Stony Brook, Amerika Serikat.
Lebih lanjut Ahmad mengatakan laptop dan telepon pintar (smartphone) merupakan dua piranti paling populer yang dimiliki para pelajar di Indonesia, bahkan lebih dari 80% telah memiliki keduanya sekaligus. Mereka menggunakan piranti tersebut untuk bermedia sosial, aplikasi pendidikan dan bermain game. Survei, kata Ahmad, dilakukan terhadap 1.157 pelajar dari empat sekolah menengah (SMP dan SMA) di Pulau Jawa dan Kalimantan. Metode analisis data yang digunakan meliputi regresi logistik, korespondensi berganda (MCA), pemodelan persamaan struktural (SEM), dan beberapa metode pengujian hipotesis statistik lainnya.
Saat ini, lebih dari 98% responden pengguna media sosial reguler, 85% merupakan pengguna rutin aplikasi pendidikan setiap pekannya, dan 42% bermain game. Terdapat perbedaan signifikan pada durasi dan frekuensi penggunaan aplikasi bergerak di tiga kategori tersebut pada beberapa kelompok pelajar yang berbeda.
“Pelajar laki-laki memiliki frekuensi bermain game yang lebih tinggi sementara pelajar perempuan cenderung menghabiskan waktu lebih lama di depan perangkat bergerak mereka setiap harinya,” kata Ahmad.
Pelajar SMA, kata Ahmad, menghabiskan waktu lebih lama di depan perangkat bergerak setiap harinya. Sedang pelajar SMP menghabiskan waktu lebih lama untuk bermain game di perangkat bergerak setiap harinya.
“Pelajar yang memiliki perangkat bergerak mahal cenderung menghabiskan waktu lebih banyak di depan perangkat bergerak mereka setiap harinya. Namun tidak ada perbedaan signifikan dalam frekuensi penggunaan aplikasi bergerak dibandingkan pemilik perangkat bergerak yang lebih murah,” jelasnya.
Lebih dari 91% pelajar, kata Ahmad, memiliki pengalaman dengan proses pembelajaran daring (e-learning). Sebanyak 67% mengaku memiliki pengalaman dengan proses pembelajaran menggunakan perangkat bergerak (m-learning).
Pelajar di tingkat SMA, pelajar di pulau Jawa, dan pelajar yang memiliki akses ke jaringan Wi-Fi adalah kelompok yang paling besar kemungkinannya untuk memiliki pengalaman e-learning dan m-learning. Komputer tablet memiliki peran khusus dalam hal m-learning. “Pelajar yang lebih memilih m-learning dibandingkan e-learning pada perangkat komputer desktop ataupun laptop identik dengan jenis pembelajar yang aktif dan kolaboratif,” katanya.
Menurut Ahmad, temuan tersebut dapat membuka wawasan yang lebih luas terkait dengan kepemilikan, penggunaan, dan pembelajaran menggunakan perangkat bergerak, khususnya di kalangan pelajar sekolah menengah di Indonesia. “Informasi ini dapat menjadi pertimbangan pengambil kebijakan untuk mengoptimalkan penggunaan teknologi bergerak dalam rangka meningkatkan capaian pendidikan di Indonesia. Bahkan bisa juga diterapkan di negara-negara berkembang lainnya,” katanya.