YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Program Studi Hukum Islam Program Doktor, Fakultas Ilmu Agama Islam. Universitas Islam Indonesia (Prodi HIPD FIAI UII) menggelar Kuliah Dosen Tamu dan Kuliah Pakar, Kamis (2/11/2023). Kuliah ini mengangkat tema ‘Pengembangan Fikih Keindonesiaan : Teori dan Metodologi dalam Perspektif Antropologi.’
Pada kesempatan tersebut juga dilakukan penandatangan kerjasama antara FIAI UII dan Fakultas Syariah Universitas Negeri Antasari Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Penandatanganan dilakukan Dekan FIAI UII, Dr Asmuni MA dan Dekan Fakultas Syariah, UIN Antasari Banjarmasin, Dr Hj Amelia Rahmaniah MH.
Kuliah Dosen Tamu dan Kuliah Pakar menghadirkan empat pembicara dengan moderator Dr Mukhsin Achmad SAg, Dosen Ilmu Agama Islam Program Magister Jurusan Studi Islam FIAI UII. Keempat narasumber pertama, Muhammad Rofiq Muzakkir MA, PhD, Dosen Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Muhammad Rofiq menyampaikan tema Teori Antropologi dalam kontek Fikih Keindonesiaan.
Kedua, Supriyanto Abdi MCAA, PhD, Dosen Ilmu Agama Islam Jurusan Studi Islam FIAI UII. Supriyanto mengetengahkan topik ‘Posisi Strategis Antropologi sebagai Pendekatan Studi Islam Agama di Indonesia.’ Ketiga, Prof HMA Tihami MA, Guru Besar Institut Agama Islam Banten mengetengahkan topik Fikih Keindonesiaan Sejarah dan Pemahaman Awal.
Keempat, Dr Hj Amelia Rahmaniah MH, Dekan Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarmasin. Amelia mengangkat topik ‘Interaksi Fikih dan Masyarakat Lokal Studi Kasus dan Temuan Terkini.’
Dekan FIAI UII, Asmuni mengatakan forum ini dalam rangka mencari performa tentang Fikih Keindonesiaan Teori dan Metodologi. Menurut Asmuni yang juga pendiri Prodi HIPD ini, pada tahun 2006-2009, ketika program doktor ini kita ajukan, salah satu keunggulannya adalah fokus pada Fikih Keindonesiaan.
“Apa definisi Fikih Keindonesiaan? Apakah Metodologinya? Fikih Keindonesiaan adalah mengkaji fikih-fikih yang bersifat mempertimbangkan ruang dan waktu. Sehingga fikih tidak harus seragam. Keberagaman muslim, sejatinya diikuti dengan keberagaman fikih,” kata Asmuni.
Hal itu, kata Asmuni, ditandai dengan Imam Laits yang tinggal di Eropa atau negara Barat mengeluarkan fatwa yang berbeda dengan fatwa Imam Malik yang tinggal di Madinah. Sehingga Imam Laits mendapat teguran dahsyat dari Imam Malik.
“Tetapi jawaban Imam Laits, kami sedang berada di kawasan ini (maksudnya kawasan Eropa), sedang Imam Malik berada di Madinah. Realitasnya seperti itu. Meskipun para ulama belum menyusun metodologi secara sistematis, tetapi fatwa-fatwa itu sudah berjalan. Akhirnya, Imam Syafii merumuskan Kita Fikih yang dikenal Ar Risalah,” kata Asmuni.
Kemudian hal tersebut berkembang hingga ke Indonesia menjadi Fikih Keindonesiaan. “Mudah-mudahan jejak akademik yang dilakukan para akademisi di luar negeri bisa dilakukan di Indonesia. Ini merupakan langkah awal dalam rangka menuju formulasi metodologi fatwa-fatwa dalam konteks Fikih Keindonesiaan perspektif akademik,” kata Asmuni. (*)