YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Pusat Studi Siyasah dan Pemberdayaan Masyarakat (PS2PM) Yogyakarrta memprihatinkan persoalan keagamaan dan budaya lokal di era milenial. Agama kadang penuh dengan ajaran yang sangat doktrinal dan kaku. Sedang budaya lokal sebagai nilai yang hidup di masyarakat mengalami dirasakan mengekang masyarakat milenial.
Kondisi tersebut mengilhami PS2PM menggelar diskusi secara virtual ‘Religiusitas Masyarakat Milenial dan Budaya Lokal’ Sabtu (24/6/2023). Diskusi menghadirkan nara sumber Pendeta Dr Fredrik Y A Doeka, Dosen Universitas Kristen Artha Wacana Nusa Tenggara Timur (UKAW NTT) yang juga Dewan Pakar PS2PM Yogyakarta, Romo Dr M Muslich KS, MAg, Dosen Universitas Islam Indonesia (UII) yang juga Dewan Pakar PS2PM Yogyakarta.
Keynote speaker diskusi ini, Dr Drs Yusdani MAg, Dosen UII dan juga Direktur PS2PM. Sedang host M Nurhidayat, Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Terpadu (STAIT) Yogyakarta dan Wakil Sekretaris PS2PM Yogyakarta, dan penyelenggara Januriansyah Arfaizar, Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Yogyakarta dan Sekretaris PS2PM.
Yusdani menjelaskan persoalan relijiusitas dan budaya lokal di era milenial merupakan soal krusial bagi kehidupan masyarakat sekarang. Di satu pihak agama dibutuhkan sebagai pegangan hidup, tetapi nalar agama masyarakat milenial menghendaki simple dan praktis.
Sedang agama kadang-kadang penuh dengan ajaran yang sangat doktrinal yang kaku. Demikian pula posisi kearifan lokal sebagai nilai yang hidup mengalami tantangan serius. “Atas dasar itu, para cendekiawan agama-agama untuk merespons kebutuhan masyarakat milenial baik dalam bidang keagamaan dan menyikapi local wisdom,” kata Yusdani.
Sedang Pendeta Fredrik YA Doeka dalam perspektif Agama Kristen mengatakan kehadiran smartphone atau gadget telah memudarkan budaya lokal. Gadget telah menumbuhkan sikap egois di kalangan milenial dan kurang peduli terhadap lingkungan.
Fredrik mengatakan dirinya pernah satu angkot dengan sembilan mahasiswa menuju kampus. Namun sepanjang jalan perjalanan tidak ada obrolan antara penumpang satu dengan yang lainnya. Mereka sibuk dengan memainkan gadget masing-masing.
“Di dalam angkot tidak ada obrolah sebagaimana orang Kupang bertemu teman-temannya seperti dulu. Bahkan setelah sampai kampus, saya membayari ongkos angkutan sembilan mahasiswa. Namun respon mereka biasa-biasa saja,” kata Fredrik.
Di dalam keluarga pun, lanjut Fredrik, tidak jauh berbeda. Anak-anak berada di kamar masing-masing dan sibuk memainkan gadget-nya. “Dulu, anak-anak kalau dipanggil sekali sudah langsung menjawab. Sekarang berkali-kali dipanggil tidak ada jawaban karena kuping mereka tertutup headset,” tambah Fredrik.
Sementara Romo Muslich dari perspektif Islam menandaskan sebagai orang yang selalu bergumul dengan dalam retorika budaya, akademik, fenomena tersebut menjadi sesuatu yang menarik untuk dipikirkan bersama. “Kita sebagai orang tua, ya harus cawe-cawe. Kalau tidak cawe-cawe, kita akan kehilangan identitas, jatidiri, kehilangan nilai-nilai yang diturunkan nenek moyang,” kata Muslich.
Perjalanan budaya, kata Muslich, akan memasuki dunia hampa. Sehingga banyak kemungkinan yang akan terjadi. Di antaranya, perpecahan dalam kehidupan yang menghadapi perubahan.
Muslich mengungkapkan pengalamannya. Suatu ketika Muslich diajak kulineran. Saat itu, dirinya merasakan masuk ke tempat makan yang bukan dunianya. “Saya disuruh makan, makanan yang belum ada akta kelahirannya. Akibat setelah makan pusing, masuk angin dan seperti mau jatuh,” katanya.
Selain itu, tambah Muslich, dulu ada adab makan di dalam keluarga. Kalau bapaknya belum makan, anak-anak tidak berani makan. Lha sekarang, terbalik, anak makan duluan bapaknya sering tidak kebagian.
“Dalam menghadapi perubahan zaman seperti ini tidak perlu gelisah. Harus kita respon, lalu kita cari model-model yang sesuai untuk diterapkan. Tugas kita sebagai orang tua ya harus cawe-cawe,” tandasnya. (*)