YOGYAKARTA — Hakim Agung Mahkamah Agung Republik Indonesia, Dr HM Mukti Artho SH, MHum menandaskan putusan hakim yang berkeadilan adalah putusan yang sesuai dengan hati nurani. Bukan berdasarkan Undang-undang secara kaku atau putusan yang mengandung rasa ketakutan jika dianulir pengadilan di atasnya.
Mukti Artho mengemukakan hal tersebut pada seminar ‘Praktek Penemuan Hukum dan Pemenuhan Rasa Keadilan di Peradilan Agama Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 di Kampus Program Pascasarjana Magister Ilmu Agama Islam Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia (FIAI UII) Yogyakarta, Sabtu (29/7/2017). Selain Mukti Artho, seminar juga menampilkan pembicara Dr Abdul Jamil SH MH, dosen tetap Fakultas Hukum UII.
Lebih lanjut Mukti Artho di hadapan peserta seminar yang sebagian besar hakim pada Pengadilan Agama Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengatakan putusan yang berdasarkan yurisprudensi juga belum tentu memenuhi rasa keadilan. Karena itu, hakim harus membuat berkreasi untuk membuat keputusan pengadilan yang benar-benar mengandung unsur rasa keadilan.
“Keputusan selalu diawali dengan kata ….demi keadilan. Komitmen ini harus dipatuhi dan harus tercermin pada keputusan hakim. Selain berdasarkan nurani, keputusan juga mengandung keseimbangan, tidak ada yang menang dan kalah, keputusan bisa dieksekusi,” tandas Mukti Artho.
Sementara Abdul Jamil mengemukakan hakim harus dapat membuat penafsiran terhadap undang-undang agar dapat memberikan putusan yang memenuhi rasa keadilan. Sebab dalam pembuatan undang-undang, pembuat tidak melakukan sinkronisasi antara peraturan yang akan dibuat dan peraturan lain yang sudah berlaku.
Ia mencontohkan UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Pada pasal TT UU 21 tahun 2008 mengatur tentang penyelesaian sengketa. Ternyata pada pasal lain dalam UU lain telah mengatur kewenangan yaitu pasal 49 UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan pertama atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama.
“Kedua ketentuan tersebut terjadi kontradiksi satu dengan yang lainnya. Hal ini tidak akan terjadi manakala pembuat UU (aturan) melakukan kajian terhadap isi aturan yang terkait dengan aturan yang akan dibuatnya,” tandas Abdul Jamil.
Adanya perbedaan UU satu dengan yang lain, berdampak pada perbedaan pemahaman, bahkan dapat membuat ketidakpastian terhadap isi pasal dalam aturan tersebut. Perbedaan ini sudah dapat diatasi sehingga peradilan yang menyangkut ekonomi syariah ditangani Pengadilan Agama.
Namun saat menyoroti hakim Pengadilan Agama, Abdul Jamil, membedakan ada dua macam hakim yaitu hakim yang praktis (normatif), dan hakim progresif. Hakim praktis adalah mereka yang sulit meninggalkan hukum yang telah dikembangkan kolonial Belanda. Sehingga dalam menyelesaikan sengketa berdasarkan hukum positif (teks pasal) UU keputusan pengadilan (yurisprudensi).
“Hakim madzab ini dalam memutuskann perkara yang disidangkan berpandangan hukum modern sudah dianggap adil, logis dan terukur. Sehingga harus dijalankan demi keputusan hukum dan tidak perlu ditafsirkan lagi,” tandas Jamil.
Sedang hakim progresif adalah mereka yang mau meninggalkan belenggu hukum modern, meskipun lebih berat. Sebab hakim yang menganut madzab progresif mau menggali teks-teks psal undang-undang dengan cara menggali sesuatu yang resening. “Hakim ini mau bersusah payah mencari hukumnya dan tidak menggunakan yurisprudensi,” katanya.