YOGYAKARTA — Iwan Satriawan, SH MCL PhD, dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) mengungkapkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) telah berhasil meredam potensi konflik. Selain itu, MK juga telah memberikan peran yang signifikan terhadap demokrasi Indonesia.
Iwan Satriawan mengungkapkan hal tersebut pada Diskusi Publik & Bedah Disertasi di Ruang Sidang Amphiteater Gedung Pasca Sarjana UMY lantai 4, Selasa (11/10/2016). Disertasi Iwan berjudul ‘Peranan Mahkamah Konstitusi RI dalam Memperkuat Demokrasi di Indonesia.’ Diskusi ini menghadirkan dua panelis yaitu, Prof Dr Ni’matul Huda, SH MHum (Pakar Hukum Tata Negara dan Guru Besar Fakultas Hukum UII) dan Dr Zainal Arifin Mochtar SH, LLM (Pakar Hukum Administrasi Negara UGM).
Dalam pemaparannya, Iwan mengungkapkan tujuan utama penelitiannya untuk mengevaluasi peran MK dalam proses penguatan demokrasi di Indonesia. Penelitiannya menekankan analisis terhadap putusan-putusan MK. “Penelitian ini merupakan penelitian hukum doctrinal dan aplikatif melalui kajian putusan hakim MK,” jelas Iwan.
Lebih lanjut Iwan mengatakan penelitian ini dilakukan dalam kurun 10 tahun (2003-2013). Dalam kurun waktu tersebut MK telah menangani banyak sekali masalah. Tercatat 570 kasus judicial review dan sebanyak 685 kasus sengketa Pilkada.
Iwan menilai MK berperan signifikan dalam mengawal demokrasi di Indonesia. “Walaupun dalam kurun 10 tahun berdirinya MK, ada ketidakpuasan terhadap putusan-putusannya. Namun secara keseluruhan putusan-putusan MK bisa meredam potensi konflik yang ada di tengah masyarakat,” kata Iwan.
Selain itu, kata Iwan, MK telah memberikan kontribusi sebagai mediator atau fasilitator dalam penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara. Meskipun dalam kurun 10 tahun, MK belum banyak memutuskan sengketa.
“Beberapa putusan MK yang menarik untuk dicatat misalnya Putusan MK no. 2/SKLN-X/2012 terkait sengketa kewenangan antara Presiden vs DPR dalam kasus divestasi 7% saham PT. Newmont dan juga Putusan MK No.3/SKLN-X/2012 terkait sengketa kewenangan antara KPU VS DPRD Papua dan Gubernur Papua dalam proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur,” tambahnya.
Iwan juga mengungkapkan ada beberapa kelemahan MK secara kewenangan, struktur kelembagaan, prosedur dan pengawasan serta penegakan kode etik hakim MK. Pertama, model MK yang tersentral di Jakarta menimbulkan problem dalam menyelesaikan sengketa Pemilu, terutama untuk orang yang berada di ujung barat dan timur Indonesia.
Kedua, kata Iwan, dimasukkannya kewenangan menangani sengketa ke MK faktanya menjadi bumerang bagi MK. Pasalnya hal tersebut mengganggu fungsi utama MK sebagai penjaga konstitusi melalui judicial review. “Penelitian menunjukkan tahun 2008-2013 MK lebih banyak menghadapi sengketa Pilkada,” katanya.
Ketiga, ujar Iwan, MK menjadi lembaga yang super namun lemah dalam pengawasan. Memasuki akhir satu dekade, kesolidan MK mulai terganggu oleh oknum hakim dan staf MK. “Ketua MK ketiga ditangkap oleh KPK dalam perkara suap dan ada staf yang diberhentikan karena menggunakan kekuasaan di MK,” jelasnya.
Untuk mengatasinya, Iwan memberikan rekomendasi kepada MK yaitu perlu adanya desain ulang kewenangan dan struktur MK. Masalah sentralisasi struktur MK bisa diselesaikan dengan melaksanakan sidang sengketa Pilkada di beberapa zona, misalnya zona Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi.
Selain itu, MPR juga perlu mempertimbangkan amandemen UUD 1945 terkait pengawasan MK, lembaga manakah yang secara otoritatif diberi mandat untuk mengawasi kehormatan hakim konstitusi. “Sedang DPR yang perlu merevisi UU MK dengan melakukan penguatan pada aspek code of conduct of judges, sistem pendukung MK, dan mekanisme rekrutmen hakim konstutusi agar menjamin terpilihnya hakim konstitusi yang berkualitas,” usulnya.
Penulis : Heri Purwata