YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Prof Fathul Wahid ST, MSc, PhD menandaskan pandemi Covid-19 sudah seharusnya tidak hanya dilihat sebagai musibah yang harus dimitigasi, namun juga mengandung berkah tersamar (a blessing in disguise) yang perlu disyukuri. Sikap yang terkesan subtil ini, sangat penting, agar bisa menjadi titik balik yaitu dari mengutuk kegelapan ke menyalakan lilin penerang; dari ratapan menuju harapan; dari hujatan menuju lompatan.
Fathul Wahid mengungkapkan hal tersebut saat membuka The 2nd National Sustainability University Leaders Meeting 2021 dengan tema Kepemimpinan dalam Transformasi Kampus Berkelanjutan Pascapandemi secara virtual, Rabu (21/7/2021). Kegiatan yang dilaksanakan Rabu dan Kamis (21-22/7/2021) ini merupakan rangkaian dari UI Greenmetric World University Ranking Network (GWURN), pemeringkatan perguruaan tinggi berdasarkan lingkungan berkelanjutan.
Kegiatan lainnya yang menjadi rangkaian dari kegiatan GWURN adalah lokakarya dan rapat koordinasi nasional. The 2nd National Sustainability Univeristy Leaders Meeting 2021 ini akan dihadiri oleh para pimpinan universitas, politeknik, serta sekolah tinggi dari berbagai wilayah di Indonesia. Selain itu kegiatan diikuti penanggung jawab sustainability office atau penanggung jawab program green campus di masing-masing universitas, politeknik, dan sekolah tinggi.
Menurut Fathul, perspektif ini akan menumbuhkan sikap menerima keadaan secara objektif dan memikirkan inovasi untuk meresponsnya, termasuk meningkatkan kualitas akademik. Di dalamnya adalah inisiatif penguatan ekosistem pembelajaran Daring (dalam jaringan) dan peningkatan pengalaman pembelajaran mahasiswa.
“Kami di Universitas Islam Indonesia membingkai respons pandemi Covid-19 dengan tiga pendekatan yang saling terkait: cermat bertahan, sehat berbenah, dan pesat bertumbuh. Bingkai tersebut bisa kita kaitkan dengan keberlanjutan perguruan tinggi, dalam artian yang sangat luas,” kata Fathul Wahid.
Lebih lanjut Fathul Wahid mengatakan di masa pandemi Covid-19, pemimpin perguruan tinggi diharuskan memahami masalah dan meresponsnya dengan cepat dan (diikhtiarkan juga) tepat. Kecepatan dan ketepatan respons ini sangat penting untuk menjaga keberlanjutan operasi dan akademik. Namun, setelah 1,5 tahun berjalan, alasan kedaruratan telah berkurang validitasnya.
“Saya yakin, derajat tantangan yang dihadapi oleh perguruan tinggi berbeda-beda. Setiapnya mempunyai basis terinstal (installed base) yang beragam. Termasuk di antaranya, diindikasikan oleh kesiapan infrastuktur teknologi informasi, sumber daya manusia, dan sumber pendanaan,” jelas Fathul.
Sebagai ikhtiar membuat koridor bersama, Fathul mengusulkan, perbincangan terkait keberlanjutan perguruan tinggi, minimal mempunyai tiga dimensi yang saling terkait. Pertama, dimensi temporal. Perguruan tinggi seharusnya tidak hanya berfokus pada kekinian atau horison waktu yang pendek, tetapi juga masa depan yang jauh atau keberlanjutan.
Kedua, dimensi spasial. Perguruan tinggi seharusnya tidak hanya terpaku pada area di dalam pagar kampus, tetapi juga menyentuh khalayak dan kawasan yang lebih luas. Tujuan pembangunan keberlanjutan (sustainable development goals/DSGs) bisa menjadi salah satu bingkai bergerak untuk melebatkan manfaat dari kehadiran perguruan tinggi di tengah bangsa.
“Hal ini diperlukan, salah satunya, untuk menjamin keberlanjutan negara di rel yang benar, yang kehadirannya ditujukan untuk menjamin kesejahteraan warganya. Saya sangat berharap, dengan konsistensi sikap dan programnya, perguruan tinggi bisa ikut berandil di dalamnya,” katanya.
Ketiga, dimensi kontekstual. Di sini, konsep tiga ‘p’ dalam the triple bottom line, bisa kita jadikan bingkai: planet, people, profit. Keberlanjutan tidak hanya soal lingkungan, tetapi juga terkait dengan manusia, dan juga manfaat. Dalam konteks perguruan tinggi, tiga ‘p’ ini perlu dikontesktualisasi dengan baik. Kombinasi optimal ketiganya pun perlu diikhtiarkan bersama.