YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Prof Fathul Wahid ST, MSc, PhD yang juga pakar bidang sistem dan teknologi informasi menandaskan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) tidak akan menggantikan peran manusia. Namun AI justru sebagai alat bagi manusia untuk berinovasi menggunakan big data.
Prof Fathul Wahid mengemukakan hal tersebut saat memberikan sambutan wisuda di Auditorium Abdul Kahar Mudzakkir Kampus Terpadu UII, Sabtu (25/11/2023). UII Yogyakarta mewisuda sebanyak 1.108 lulusan dari berbagai jenjang yang terdiri dari 26 ahli madia, 1.003 sarjana, 71 magister, dan delapan doktor.
Fathul Wahid menjelaskan jika AI sebagai alat berinovasi bukan akan menggantikan peran manusia. Ia mengilustrasikan penemuan Prof Regina Barzilay, ahli kecerdasan buatan dari The Massachusetts Institute of Technology (MIT) Amerika Serikat.
Prof Regina Barzilay, kata Fathul, bersama tim yang latar belakang lintas disiplin, berhasil mengubah bingkai dalam menemukan antibiotik yang membunuh bakteri jahat. Mereka tidak mencari zat yang mempunyai karakteristik serupa dengan zat penyusun antibiotik sebelumnya.
“Pendekatan lama yang biasa digunakan adalah mencari kemiripan struktural zat. Mereka mengubah bingkai, yang berfokus pada efek zat: apakah zat tersebut membunuh bakteri? Mereka mengubah isu penemuan antibiotik, dari bersifat biologikal menjadi informasional,” kata Fathul.
Kata Fathul, sebuah algoritma dilatih dengan lebih dari 2.300 senyawa, dan berharap menemukan yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Model yang dihasilkan diaplikasikan pada sekitar 6.000 molekul pada sebuah basis data.
Selanjutnya, model diaplikasi pada 100 juta molekul dari basis data lain. Di awal 2020, mereka akhirnya menemukan sebuah molekul pembunuh
bakteri.
“Namun berita di media yang muncul adalah bahwa kecerdasan buatan telah menemukan antibiotik. Ada yang salah dengan perspektif ini karena tidak menggambarkan cerita sebenarnya,” tandas Fathul.
Lebih lanjut Fathul menjelaskan penemuan ini bukan kemenangan kecerdasan buatan, tetapi kesuksesan kognisi manusia yang mengubah bingkai dalam menemukan molekul pembunuh bakteri. Apresiasi seharusnya diberikan kepada kecakapan manusia, bukan kepada teknologi baru.
“Prof. Barzilay menjelaskan manusialah yang memilih senyawa, mengetahui apa yang mereka lakukan ketika memberikan material kepada model untuk dipelajari. Manusia yang mendefinisikan masalah, mendesain pendekatan, memilih molekul untuk melatih algoritma, dan memilih basis data zat untuk diteliti,” jelas Fathul.
Menurut Fathul hal tersebut menunjukkan kehebatan bingkai yang mendasari model mental (mental model). Model mental ini menjadikan dunia lebih dapat dipahami, karena memungkinkan kita melihat pola, memprediksi kejadian, dan memahami beragam kejadian di depan mata.
“Kita menggunakan dalam banyak kesempatan: mulai dari sebagai memilih sekolah, menentukan karier, membangun rumah, menjadi orang tua, dan lain-lain. Bingkai ini bisa berubah. Yang paling berbahaya adalah ketika seseorang mempunyai bingkai yang tidak membuka alternatif lain,” katanya.
Fathul menjelaskan soal kekuatan bingkai telah dibahas dengan sangat apik dalam buku Framers (Cukir, Mayer-Schonberger, & de Vericourt, 2021). Ilustrasi tentang penemuan Prof Regina Barzilay ada di dalam buku ini.
Penulis buku, kata Fathul, menyatakan jika ingin menggunakan bingkai dengan baik, perlu mengaplikasikan pola pikir kausalitas (sebab-akibat), konterfaktual (membayangkan realitas yang berbeda), dan mengenali batasan-batasan. “Dalam suatu waktu, ada kalanya bingkai lama sudah tidak relevan, dan kita perlu merevisinya atau bahkan menggantinya dengan sama sekali baru. Selain itu, beragam bingkai mungkin hadir berdampingan,” katanya. (*)