YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Karya akademik tidak lagi dikaitkan dengan pengembangan keilmuan, tetapi sebagai pelengkap tanggung jawab administrasi. Jebakan logika seperti ini sekarang sangat jamak ditemui, ketika kuantitas karya akademik menjadi raja. Bahkan kuantitas akademik dipercaya mempengaruhi banyak hal, termasuk pemenuhan kewajiban, akreditasi, dan pemeringkatan.
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Prof Fathul Wahid ST, MSc, PhD mengemukakan hal tersebut pada sambutan penyerahan Surat Keputusan (SK) Kenaikan Jabatan Akademik Profesor dalam Bidang Ilmu Manajemen Pemasaran, Drs Anas Hidayat, MBA, PhD di Yogyakarta, Selasa (11/6/2024). Anas Hidayat merupakan dosen pada Jurusan Manajemen Fakultas Bisnis dan Ekonomika (FBE) UII. Hingga saat ini, UII telah memiliki 45 profesor dari beragam rumpun ilmu, baik eksakta maupun sosial.
Lebih lanjut Fathul Wahid menjelaskan saat ini ada berbagai cara untuk memperbanyak kuantitas karya akademik. Fathul Wahid memberikan tiga ilustrasi. Pertama, beberapa waktu lalu, media dihebohkan dengan berita produktivitas seorang dosen yang sanggup menghasilkan 160 publikasi sejak Januari 2024.
“Capaian yang tidak wajar. Apalagi ditambah dengan isu pencatutan nama dosen lain dari kampus negeri jiran tanpa sepengetahuannya. Dosen ini sudah diberhentikan oleh kampusnya dari jabatan dekan,” kata Fathul.
Kedua, kata Fathul, pada sebuah grup WhatsApp yang ikutinya, ada sebuah iklan jurnal nasional. Hal yang membuat Fathul mengernyitkan dahi adalah narasi yang dibawa iklan tersebut. “Publikasi yang berbayar semata dimaksudkan sebagai bagian pemenuhan laporan kinerja dosen, yang menjadi syarat perpanjangan tunjangan sertifikasi dosen. Selain itu, iklan tersebut memberikan kalkulasi bahwa biaya yang dikeluarkan masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan akumulasi tunjangan sertifikasi dosen selama setahun,” tandas Fathul.
Ketiga, tambah Fathul, dalam beberapa waktu terakhir, berlalu lalang di lini masa media sosial. Beragam iklan tentang menulis, baik buku maupun artikel jurnal. Hal yang ditawarkan adalah penggunaan kecerdasan buatan dalam menulis. “Satu hari satu artikel Scopus”, bunyi salah satu iklan. “Menulis buku dengan mudah menggunakan AI (Artificial Intelligence),” bunyi iklan lainnya.
Berdasarkan ketiga ilustrasi tersebut, Fathul memiliki dua pertanyaan bagi profesor. “Bagaimana kompas etika kita ketika melihat kenyataan ini? Apakah jarum kompas kita masih sensitif menunjukkan mana arah yang etis dan mana yang tidak?” tanya Fathul.
Hal sama dari ketiga ilustrasi tersebut adalah karya akademik tidak lagi dikaitkan dengan pengembangan keilmuan, tetapi sebagai pelengkap tanggung jawab administrasi. Jebakan logika seperti ini saat ini sangat jamak ditemui, ketika kuantitas menjadi raja, karena dipercaya mempengaruhi banyak hal, termasuk pemenuhan kewajiban, akreditasi, dan pemeringkatan.
“Kita tidak boleh naif dalam melihat ini. Ini adalah fakta sosial pahit yang kita temukan di lapangan. Sialnya, kita tidak bisa dengan mudah lari dari jebakan tersebut, karena selain dianggap sebagai kelaziman, juga diamplifikasi dengan beragam kebijakan,” kata Fathul.
Menurut Fathul, akreditasi dan pemeringkatan jika tidak dicapai dengan intensi yang benar dan integritas tinggi, akan kehilangan makna. Kualitas menjadi terabaikan. Lebih parah lagi, jika proses tersebut melibatkan pelanggaran etika. “Sialnya, mendiskusikan hal ini dengan mereka yang kompas etikanya sudah bermasalah, hanya akan menjadi debat kusir yang tak berkesudahan,” tandas Fathul.
Karena itu, Fathul mengharapkan kompas etika seorang profesor sudah seharusnya lebih sensitif, dan siap menjadi penjuru atau contoh. Tentu, ini bukan berarti, yang belum mendapatkan amanah profesor bisa main hantam kromo dengan mengabaikan integritas akademik.
Dampak dari pengabaian integritas akademik dapat sangat akut. Mulai dari maraknya pelacuran akademik sampai dengan budaya baru pelecehan ilmu dan ilmuwan. Dan, yang paling menakutkan saya adalah ketika semua itu dianggap wajar dan sesuai etika.
Tantangan saat ini semakin berat, ketika tekanan produktivitas tidak bisa direspons dengan baik dan ketika iming-iming penghargaan prestasi disalahpahami. Godaan untuk melewati garis merah pun kadang menjadi pilihan jalan pintas. Termasuk di dalamnya adalah dengan menyewa penulis hantu (ghost writer) atau menjadi penumpang gelap (free rider). Karya akademik yang didakunya pun tanpa kontribusi memadai dari pendakunya.
Karena itu, Fathul mengajak akademisi untuk melakukan refleksi kolektif atas isu ini. Ujungnya adalah koreksi kolektif yang dijalankan dan dilantangkan bersama-sama. “Tanpa koreksi ini, saya tidak berani membayangkan masa depan dunia akademik di Indonesia, yang bisa jadi semakin suram. Tentu, bukan ini yang kita harapkan,” kata Fathul. (*)