YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Prof Fathul Wahid ST, MSc, PhD menegaskan para ahli perlu menjadi intelektual publik yang bermanfaat bagi masyarakat. Intelektual publik adalah mereka yang terdidik, dalam disiplin ilmu tertentu, kemudian memutuskan berbicara, menulis, untuk khalayak yang lebih luas di luar komunitas disiplin ilmunya.
Rektor UII mengungkapkan hal tersebut pada serah terima Surat Keputusan Pengangkatan Guru Besar Prof Drs Agus Widarjono MA, PhD, dosen Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Bisnis dan Ekonomika (FBE), di Kampus Terpadu, Kamis (21/7/2022). Prof Agus Widarjono menjadi guru besar ke 26 yang dimiliki UII.
“Saat ini guru besar di lingkungan UII menjadi 26 orang dari 786 dosen. Dari 786 dosen, 250 di antaranya sudah bergelar doktor. Dari 250 doktor, 68 orang saat ini menjabat Lektor Kepala. Sehingga kami mempunyai stok banyak 68 atau 8,6 persen akan segera mendapatkan jabatan profesor,” kata Fathul Wahid.
Lebih lanjut Fathul Wahid mengatakan menjadi intelektual publik bisa dimaknai dengan beragam atribut, termasuk sebagai bentuk tanggung jawab sosial atau menjalankan akuntabilitas intelektual kepada publik. “Sejarah bangsa Indonesia memberikan pelajaran kepada kita, intelektual publik selalu hadir dan bahkan pada posisi terdepan setiap ada perubahan besar pada bangsa ini. Tentu ini bukan peran musiman, tetapi peran di setiap kesempatan,” katanya.
Fathul Wahid percaya peran intelektual publik tetap valid sampai hari ini. Bahkan acara penyerahan SK Profesor ini, Fathul melihat Profesor Agus Widarjono memiliki bekal yang lebih dari cukup untuk menjadi intelektual publik.
Menurut Fathul Wahid, intelektual publik dapat dibedakan dengan tingkat hirarkhi. Pertama, mereka yang menulis dan berbicara kepada publik hanya dalam disiplin ilmunya. Mereka mengemas dengan bahasa yang mudah dipahami publik. Kerumitan adalah urusan para ahli, tetapi ketika disajikan kepada publik, kerumitan itu hilang dan yang ada kemasan yang mudah dicerna dan dinikmati publik.
Kedua, mereka yang menulis dan berbicara kepada publik tentang disiplin ilmunya, tetapi dikaitkan dengan dunia yang lain, dunia sosial, kultural, politik dan sebagainya. Intelektual publik seperti ini memiliki pemahaman sampai tingkat tertentu terhadap aspek di luar disiplin ilmunya. Mereka berpikir kontekstual, kehadiran disiplin ilmu harus kembali didefinisikan dalam sebuah konteks di mana dia berpijak, bertempat dan kapan berinteraksi dengan lingkunganya.
Ketiga, mereka yang menjadi simbol sebagai tokoh yang berdiri tidak hanya untuk disiplin ilmu yang digelutinya. Intelektual publik ini menulis dan berbicara beragam isu publik, bahkan yang tidak terkait dengan disiplin ilmunya. Mereka sudah membuktikan mempunyai perspektif yang luas dan horizon yang jauh. Mereka mempunyai semangat untuk mempelajari disiplin ilmu lain sampai level tertentu.
Contoh, Albert Einstein sudah terkenal, tetapi dia diminta untuk berbicara tidak hanya fisika, tetapi diminta berbicara banyak hal seperti politik, etika, dan bahkan soal agama. Karena Einstein sebagai intelektual publik sudah mencapai pada level tiga.
Peran intelektual publik, kata Fathul, sangat beragam, minimal ada lima. Pertama, intelektual publik sebagai ahli. Pendapatnya didengarkan, mendapatkan posisi terhormat di dalam komunitas disiplin ilmunya. Kedua, penjaga gerbang ilmu pengetahuan. Dia menjadi terdepan dan rujukan dalam ilmu yang ditekuni, mengikuti perkembangan mutakhir disiplin ilmunya, dan aktif dalam disiplin ilmunya.
Ketiga, intelektual publik juga sebagai pemikir yang selalu gelisah dengan sesuatu yang tidak seperti dibayangkan, diidealkan. Mencoba mencari solusi dan terlibat aktif dalam diskusi bahkan lintas disiplin ilmu.
Keempat, intelektual publik juga dapat menjadi selebritas media. Pendapatnya ditunggu media untuk mengedukasi publik. Karena dia menyederhanakan yang rumit, akrab dengan media dan paham bahasa publik.
Kelima, intelektual publik sebagai pengungkap kebenaran. Yang benar, tidak selalu kebenaran. Kebenaran tidak parsial. Intelektual publik diharapkan merangkai kebenaran yang terpisah, berserak menjadi satu kebenaran. Integritasnya tidak terbeli dan tidak menjadi stempel kebijakan yang tuna sensitifitas rakyat, abai terhadap alam dan lain-lain. Intelektual publik ini menjadi pelantang kebenaran.
Sementara Prof drh Aris Junaidi PhD, Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) Wilayah V Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), mengharapkan Prof Agus Widarjono bisa menjadi intelektual publik. “Kami juga berharap bisa meningkatkan produktivitas di program studi. Secara akademik, guru besar ini diharapkan produktivitasnya terus meningkat, baik penelitian, publikasi, dan bimbingannya,” kata Aris Junaidi. (*)