YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Dr Ir Ronggo Sadono, IPM, dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Statistik Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, di ruang balai senat Gedung Pusat UGM, (Kamis (2/11/2023). Pada upacara pengukuhan Guru Besar, Ronggo Sadono menyampaikan pidato yang berjudul ‘Statistik Kehutanan: Pengukuran, Pemodelan dan Upscaling untuk Estimasi Potensi Sumber Daya Hutan.’
Sadono menyampaikan pepohonan penyusun hutan tidak lazim diukur seluruh atributnya untuk seluruh luas areal karena alasan waktu dan biaya. Bahkan untuk luas satu plot pun hanya diukur pada atribut penting yang praktis namun dapat digunakan untuk menduga informasi yang dibutuhkan, misalnya volume pohon, biomassa dan karbon, dan potensi energinya.
Variabel penting tersebut, meliputi diameter setinggi dada, diperlakukan sebagai prediktor tunggal untuk menggambarkan variabel respon yang diteliti yaitu volume pohon bebas cabang ataupun volume pohon total. “Untuk mendapatkan data volume pohon, prosedur yang didahulukan dengan melakukan penebangan sampel,” kata Ronggo Sadono.
Pengukuran plot di lapangan diyakini dapat menghasilkan nilai estimasi yang akurat. Namun dalam pelaksanaan pada areal yang luas akan sangat membutuhkan waktu lama yang berkonsekuensi pada pembiayaan. Belum lagi diketahui misalnya bahwa plot pengukuran di areal hutan kadangkala sulit dijangkau karena keterbatasan akses atau medannya sulit.
“Masih ditambah lagi, misalnya areal hutan terdapat binatang buas, seperti harimau, yang dapat mengganggu keselamatan tim pengukur atau binatang lain yang dapat menyebabkan terganggunya kesehatan personalia pengukur, misal nyamuk malaria,” kata Ronggo Sadono.
Menurutnya kombinasi pengukuran lapangan dari sejumlah plot training, yaitu dilakukan pengukuran plot di lapangan, dan plot testing, yaitu sebagian dari plot training yang diduga parameternya dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh sebagai validasi, akan mempercepat pelaksanaan pekerjaan untuk mendapatkan nilai estimasi parameter yang ingin diketahui, misalnya volume, biomassa, karbon, dan potensi energi.
“Teknologi penginderaan jauh memungkinkan untuk menangkap spektral yang dipantulkan obyek di permukaan bumi. Tergantung dari resolusi citranya, semakin tinggi resolusi spasialnya semakin detail obyek di muka bumi yang bisa ditangkap dan dikenali,” ujarnya.
Untuk keperluan deteksi obyek yang menuntut akurasi tinggi seharusnya menggunakan kategori citra satelit beresolusi tinggi, misalnya Sentinel-2A ataupun 2B yang mempunyai resolusi spasial pada band multispectral 10 x 10 m. Namun, perlu diperhatikan bahwa tidak selalu tersedia citra satelit yang diinginkan dari suatu areal target mengingat seringkali citranya tertutup awan dalam porsi yang besar sehingga citra tidak memungkinkan untuk diproses dengan software pengolah citra, seperti ArcGIS atau QGIS.
“Keadaan ini dapat dimaklumi terutama di wilayah Indonesia yang terletak di daerah tropis seringkali citra tidak bisa bebas dari awan sama sekali. Jika tersedia citra di areal target, citra dapat diproses melalui koreksi geometrik, radiometrik, dan lain-lain untuk mendapatkan visualisasi areal target dengan baik,” ujarnya.
Soal potensi sumber daya hutan, Sadono menjelaskan bahwa pepohonan penyusun ekosistem hutan, di samping mempunyai peran penting di dalam menyimpan karbon, beberapa spesies diantaranya mempunyai peran penting di dalam program energi baru dan terbarukan. “Ada beberapa spesies pohon yang kayunya mempunyai nilai kalor yang tinggi. Namun, sayangnya spesies pohon tersebut kayunya masih diprioritaskan untuk kayu konstruksi, misalnya pohon jati dan mahoni,” katanya.
Indonesia, kata Sadono, memiliki potensi dalam pengembangan spesies pohon yang mempunyai kalor tinggi namun tidak berkompetisi penggunaanya untuk kayu konstruksi, misalnya Kaliandra. Nilai kalor kaliandra menurutnya cukup tinggi, yaitu sekitar 4.500-4.900 kkal/kg. Namun, Kalindra ini masih dimanfaatkan seluruh organ berkayu di atas tanah, sehingga tidak lagi berfungsi sebagai penyimpan karbon lagi. Dari kenyataan tersebut, ada yang dimanfaatkan dari bagian pohonnya, misalnya biji pohon nyamplung (Calophyllum inophyllum L) sebagai biodiesel, sehingga fungsi penyimpan karbonnya tetap dapat dipertahankan.
“Saya dan tim di laboratorium meneliti potensi energi dari spesies Eucalyptus yang tumbuh secara alami di Nusa Tenggara Timur. Persamaan alometrik dikembangkan untuk menduga nilai kalor sebagai dasar dari potensi energi spesies ini,” pungkasnya. (*)