YOGYAKARTA — Sekolah Vokasi saat ini masih dipandang sebagai pendidikan nomor dua. Padahal Sekolah Vokasi bisa menyiapkan tenaga yang siap kerja dan ini menjadi solusi untuk menjaga kedaulatan dan kemandirian bangsa.
Dekan Sekolah Vokasi UGM, Ir Hotma Prawoto Sulistyadi, MT IPMD mengemukakan hal itu di sela-sela penyelenggaraan International Symposium on Technology for Sustainability (ISTS) 2016 di Yogyakarta, Rabu (5/10/2016). Simposium ini digelar Sekolah Vokasi UGM dengan National Institute of Technology (NIT) Jepang.
Dijelaskan Hotma, Vokasional adalah jawaban atas kedaulatan bangsa. “Kalau kita hanya mengembangkan sains itu akan memperbesar ketergantungan kita pada negara-negara maju. Tapi dengan vokasional ini kita bisa melakukan mulai dari hal-hal yang paling sederhana hingga yang sulit,” kata Hotma kepada wartawan di Yogyakarta.
Lebih lanjut Hotma mengatakan mahasiswa, saat ini, masih terbiasa berpikir dalam mindset yang ilmiah. Karena itu, menurutnya, mahasiswa perlu diberikan pelatihan agar dapat dipersiapkan menjadi pemimpin bangsa masa depan yang memiliki pemahaman akan kondisi yang ada di tengah masyarakat.
Salah satu sarananya, kata Hotma, melalui ISTS yang menjadi bentuk sinergi antara mahasiswa vokasi dari berbagai negara. “Sebenarnya ini hanya latihan, tapi bagi mahasiswa ini bagaimana mereka memiliki pemahaman dalam menyelesaikan masalah yang menjadi interest-nya. Nah ini memang sangat vokasional sekali. Mungkin nanti manfaatnya tidak hanya di sini, tapi juga di tempat lain,” kata Hotma.
Sedang Ketua ISTS 2016, Fitri Damayanti Berutu SE, SS, MSc mengatakan ISTS yang berlangsung Selasa-Rabu (4-12/10/2016) ini bertujuan mempersiapkan para mahasiswa untuk memberikan solusi nyata terhadap pemecahan permasalahan di masyarakat lokal dengan menggunakan pendekatan teknologi. “Acara ini secara keseluruhan dirancang oleh mahasiswa dan untuk mahasiswa. Terutama untuk menggali ide dan menumbuhkan jiwa leadership supaya mereka dapat berkembang secara global,” kata Fitri.
Sementara Presiden NIT, Taniguchi Izao PhD menjelaskan pentingnya pertemuan seperti ini untuk mempersiapkan masa depan negara-negara di dunia melalui para pemuda saat ini. “Melalui kegiatan ini siswa-siswa muda dari berbagai negara bisa bisa berkumpul. Ini adalah hal yang sangat penting. Budaya dan latar belakang mereka memang berbeda, tapi mereka bisa saling berdiskusi dan mendapat wawasan serta ide-ide baru,” kata Izao.
Lebih lanjut ia menjelaskan, kegiatan ini telah menunjukkan dampak positif pada negara-negara yang pernah menyelenggarakan ISTS, yaitu Thailand, Hongkong, Taiwan, serta Malaysia. Karena itu, ia berharap dampak serupa dapat ditunjukkan di Indonesia.
ISTS 2016 yang diikuti 124 peserta berasal dari tujuh negara. Kegiatannya meliputi simposium, workshop, seminar, cultural night, kunjungan industri, serta studi kasus di Desa Poncosari.
Melalui studi kasus ini, seluruh peserta ditantang untuk mencari cara untuk mengembangkan potensi yang ada di desa tersebut. Sehingga desa ini menjadi mandiri dalam bidang energi terbarukan, industri, agroindustri, konstruksi sipil, teknologi informasi, serta pariwisata.
Penulis : Heri Purwata