YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Saat ini, semakin sedikit dosen dan terutama profesor menyampaikan pesan-pesan saintifik kepada khalayak yang lebih luas atau intelektual publik. Padahal publik perlu diedukasi dan dicerahkan, dengan gagasan-gagasan bernas yang mempengaruhi perspektif sehingga diharapkan menjadi basis pengambilan keputusan dan tindakan kolektif.
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Prof Fathul Wahid ST, MSc, PhD mengemukakan hal tersebut pada Serah Terima Surat Keputusan Kenaikan Jabatan Akademik Profesor Dra Sri Wartini SH, MH, PhD di Kampus Terpadu UII Yogyakarta, Selasa (23/5/2023). Sri Wartini yang menjadi Guru Besar Bidang Ilmu Hukum merupakan profesor kesembilan di Fakultas Hukum dan ke 31 UII.
Lebih lanjut Fathul Wahid mengatakan kegalauan ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi di banyak negara, termasuk Amerika Serikat. Suara akademisi di ranah publik yang terbatas atau bahkan terasa tiada disebabkan rendahnya relevansi gagasan dengan kebutuhan publik.
Hal ini, kata Fathul, dikhawatirkan dapat menjadi akar gerakan anti-intelektualisme. “Tentu, jika hal ini terjadi akan sangat mengkhawatirkan, karena kepercayaan publik terhadap sains dan saintis berkurang. Sains tidak dianggap sebagai komponen penting dalam pemecahan masalah manusia dan kemanusiaan,” kata Fathul.
Saat ini, tambah Fathul, semakin sulit menemukan pemikiran para profesor yang bisa diakses oleh publik luas, termasuk akademisi di luar disiplinnya. Di antaranya, Kuntowijoyo, Mubyarto, Umar Kayam, Dawam Raharjo, Nurcholis Madjid, Azyumardi Azra, Deliar Noer. “Saat ini sulit mencari penggantinya. Apa yang bisa kita pelajari dari mereka, selain mereka produktif dalam berkarya?” tanya Fathul.
Berdasarkan pengamatan Fathul Wahid, paling tidak empat pelajaran yang bisa kita ambil dari tokoh-tokoh profesor tersebut. Pertama, mengasah sensitivitas. Mereka sensitif dengan masalah bangsa. Perspektif yang diangkat dalam ceramah dan tulisannya sangat aktual dan memotret kondisi mutakhir bangsa saat itu.
Sebagai contoh, kolom Umar Kayam yang terbit rutin di Harian Kedaulatan Rakyat, selalu mengangkat isu-isu keseharian publik. Dengan kemasan cerita yang menarik, kolom ini termasuk yang dibaca paling awal ketika terbit.
Kedua, melewati pagar pembatas disiplin. Mereka mempunyai basis disiplin masing-masing, tapi mendekatkan kajiannya melewati batas-batas ranah disiplin. Ini yang menjadikan gagasan yang diperkenalkannya melalui beragam media menjadi terasa semakin relevan.
Banyak contoh yang bisa diberikan di sini. Pak Kunto adalah sejarawan, tetapi tulisannya menjangkau perspektif yang lebih luas, termasuk pergerakan Islam, epistemologi ilmu, dan bahkan menulis novel dan kumpulan cerita pendek, yang saran dengan pesan.
Ketiga, menyederhanakan bahasa. Mereka, selain cakap menulis untuk komunitas akademik, juga lihai dalam mengomunikasikan gagasan untuk khalayak. Bahasa yang digunakannya pun mudah dipahami oleh publik.
“Ini bukan perkara mudah. Hasil dilatih dengan baik. Selain itu, saat ini, semakin banyak kanal yang dapat digunakan oleh para profesor untuk menjangkau khalayak luas selain media massa, termasuk menggunakan media sosial dan juga ruang perjumpaan gagasan yang semakin banyak digelar, baik Daring maupun Luring,” katanya.
Keempat, menjaga konsistensi. Mereka mempunyai dedikasi yang tinggi menjadi intelektual publik, bahkan sampai ajal menjemput. Tentu, pilihan ini bukan tanpa risiko. “Hasil refleksi sederhana ini, juga valid untuk saya sendiri. Tentu konseptualisasi empat pelajaran dapat dipercanggih dan dilengkapi,” harap Fathul.(*)