YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Smart Glasses Technology (SG-Tech) merupakan alat pencegah miopia dan hipermetropia berbasis Internet of Things (IoT) inovasi empat mahasiswa lintas fakultas di Universitas Islam Indonesia (UII). SG-Tech diciptakan Eka Maryani Saputri, mahasiswi Fakultas Kedokteran, Angkatan 2021; Tiara Azhari Anstrong, Wafiq Muthoharoh Islami, dan Mochamad Riskhi Candra Herwana, mahasiswa Prodi Teknik Elektro Fakultas Teknologi Industri (FTI) UII angkatan 2020.
SG-Tech merupakan karya mahasiswa yang sedang mengikuti kompetisi Program Kreativitas Mahasiswa Karsa Cipta (PKM-KC). Mereka menciptakan SG Tech di bawah bimbingan Ir Ali Parkhan, MT, Dosen Jurusan Teknik Industri, FTI UII.
Eka Maryani Saputri menjelaskan SG-Tech merupakan alat yang terintegrasi dengan Internet of Things (IoT) menggunakan interface dan website. Alat ini diperuntukkan bagi pasien yang mengalami rabun jauh (miopia) dan rabun dekat (hipermetropia).
“SG-Tech terdiri dari smart glasses dan aplikasi website, yang dapat memberikan fungsi pemantauan mandiri secara dini. Indikator yang dapat dipantau dengan SG-Tech adalah waktu pengguna, jarak pengguna, intensitas cahaya, dan kedipan mata secara non-invasive,” kata Eka Maryani.
Lebih lanjut Eka Maryani menjelaskan pemantauan mandiri menggunakan prototipe ini bertujuan untuk mengatur waktu ideal bekerja di depan layar digital. Di antaranya, jarak ideal antara pengguna dengan layar digital, intensitas cahaya ideal ketika bekerja di depan layar digital, dan jumlah kedipan mata ideal pengguna selama bekerja di depan layar digital.
“Alat ini akan terhubung dengan aplikasi website berbasis Internet of Things yang bermanfaat untuk memantau keadaan pasien. Sehingga berdasarkan hasil pantauan tersebut dapat mencegah kejadian dan keparahan penyakit rabun jauh dan rabun dekat, serta mempermudah penggunaan prototipe sehari-hari,” kata Eka.
Sedang Tiara Azhari Anstrong menambahkan inovasi ini diharapkan dapat mengurangi prevalensi rabun jauh dan rabun dekat. Kedua kondisi tersebut membuat penderita kesulitan melihat suatu benda dari jauh atau dekat secara jelas.
Menurut Tiara, salah satu faktor penyebab munculnya miopia dan hipermetropia adalah menatap layar digital. Di antaranya, intensitas cahaya yang minim atau berlebih saat bekerja di depan layar digital, terlalu lama bekerja di depan layar digital, terlalu dekat atau terlalu jauh saat bekerja di depan layar digital. “Berbagai hal tersebut berpengaruh pada refleks berkedip dan mempengaruhi sekresi air mata,” kata Tiara.
Tiara mengatakan SG-Tech telah diujicobakan kepada pasien pertama, Adhitya Yunianto. SG-Tech berpotensi membantu masyarakat umum, terutama pada orang yang menderita miopia dan hipermetropia ringan. SG-Tech dapat menekan biaya pemeriksaan karena dilengkapi dengan sistem pemantauan secara non-invasive untuk menurunkan prevalensi kejadian dan keparahan penyakit rabun jauh (miopia) dan rabun dekat (hipermetropia).
Menurut Tiara, komponen SG-Tech telah dirancang dengan baik sehingga menampilkan data yang diinginkan. Selain itu, alat ini dapat dioperasikan cukup mudah dan data yang terbaca cukup akurat. “Namun, dalam beberapa aspek memerlukan penyempurnaan, yaitu desain ukuran alat lebih kecil sehingga lebih nyaman digunakan. Kemudian, pada pemasangan sensor kedipan mata perlu diperhatikan posisinya agar data yang diterima lebih akurat,” katanya.
Sementara Ali Parkhan mengatakan mahasiswa dituntut belajar lintas ilmu agar dapat memahami ide dan metodologi yang beragam, memicu kreativitas dan mendorong mereka berpikir di luar batas-batas konvensional. Pendekatan interdisipliner ini diharapkan dapat menghasilkan solusi dan produk unik yang memenuhi kebutuhan yang belum terpenuhi di dunai industri.
“Mahasiswa, sebagai akademisi juga harus dapat fokus pada pendidikan serta penelitian terkait ilmu pengetahuan. Selain itu, kemampuan lintas keilmuan menjadi penting untuk mendorong kemampuan mahasiswa sehingga mahasiswa mampu berkolaborasi,” tandas Ali Parkhan. (*)