YOGYAKARTA, JOGPAPER,NET — Farkhan Lc, MA, dosen Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta, Jawa Tengah berhasil meraih gelar doktor di Program Studi Doktor Hukum Islam (DHI), Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia (FIAI UII). Ia berhasil mempertahankan desertasinya di hadapan Tim Penguji di Kampus UII Demangan Yogyakarta, Rabu (6/1/2021).
Farkhan mengangkat judul desertasi ‘Studi Komparatif Fiqih Bencana Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.’ Tim Penguji terdiri Prof Fathul Wahid ST, MSc, PhD sebagai Ketua Sidang dan juga Rektor UII dan Sekretaris Dr Dra Junanah MIS. Promotor Prof Dr Kamsi MA dan Co-Promotor Dr Drs Asmuni Mth MA. Sedang penguji terdiri Prof Dr Amir Mu’allim MIS, Dr Tamyiz Mukharrom MA, dan Dr Hamim Ilyas MA.
Dijelaskan Farkhan, Muhammadiyah dan NU memiliki komisi pembuat fatwa. Muhammadiyah bernama Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT), dan
NU bernama Lajnah Bahsul Masail (LBM). “Komisi fatwa ini membahas tentang berbagai persoalan yang timbul di tengah masyarakat. Kemudian menerbitkan fatwa sebagai pedoman dan bimbingan bagi masyarakat muslim secara umum,” kata Farkhan.
Fatwa yang dikeluarkan kedua organisasi Islam tersebut tidak terbatas hanya pada persoalan ibadah dalam arti sempit atau ibadah ritual seperti salat, puasa, dan haji. Tetapi juga menjamah seluruh sisi kehidupan dan aktivitas manusia sebagai pribadi, anggota keluarga dan bagian dari masyarakat.
Fatwa mencakup soal aqidah, ibadah dan mu’amalah dalam arti luas. Kemudian soal ekonomi, sosial, budaya, politik, dan juga masalah lingkungan. Masalah bencana dan bagaimana upaya penanggulangannya juga menjadi perhatian.
Fatwa fikih bencana NU, kata Farkhan, tertuang dalam tiga buku yaitu pertama, Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat dalam Perspektif Islam. Kedua, Membangun Ketahanan Masyarakat Menghadapi Bencana, Perspektif Islam Tentang Pengurangan Risiko Bencana. Ketiga, Da’i Siaga Bencana, Pedoman Praktis Dakwah Pengurangan Resiko Bencana.
“Fikih Muhammadiyah tuntas sampai penjelasan tentang tata cara ibadah
praktis dalam kondisi bencana. Sedang, fikih Nahdhatul Ulama hanya sampai pada langkah-langkah praktis penanganan korban bencana,” kata Farkhan.
Berdasarkan trilogi epistimologi dapat disimpulkan pada poin bayani kedua fikih relatif sama, setingkat dan seukuran. Namun pada tingkat burhani, Muhammadiyah lebih kuat dan dalam dibanding Nahdlatul Ulama. Sedang pada poin ‘irfani Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama tidak menggunakannya.
“Perbedaan itu terpulang kepada metodologi dasar yang memang agak
Berbeda. Muhammadiyah start dari ayat dan hadis, sedang Nahdlatul Ulama memulai dari aqwal ulama. Namun pada akhirnya keduanya sama-sama menggunakan ayat, hadis dan pendapat ulama klasik,” katanya.