YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Awal Shalat Magrib, Isya, dan Subuh yang sudah mapan perlu diteliti ulang. Kementerian Agama menentukan awal waktu Subuh saat matahari berada pada ketinggian -20 derajat. Posisi tersebut belum fajar kazib sehingga terlalu dini jika disebut fajar, apalagi fajar sadiq. Seharusnya, awal waktu Subuh matahari pada ketinggian -13.6 derajat.
Drs Sofwan Jannah MAg, dosen Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia (FIAI UII) mengemukakan hal tersebut dalam Ujian Terbuka dan Promosi Doktor pada Program Studi Doktor Hukum Islam (DHIFIAI UII Yogyakarta, Rabu (8/7/2020). Sofwan Jannah berhasil mempertahankan desertasi yang berjudul ‘Penentuan Waktu Shalat Magrib, Isya, dan Subuh Perspektif Fikih dan Astronomi.’ Sofwan menjadi doktor ke-21 dari Program Studi DHI dan 174 yang dihasilkan UII.
Dijelaskan Sofwan, selama ini waktu Subuh ditentukan dengan fajar kazib 20 derajat. Namun pengamatan menggunakan perangkat Sky Quality Meter (SQM) dan kamera Digital Single Lens Reflex (DSLR) menunjukkan pada posisi 20 derajat, fajar kazib belum tampak, demikian pula fajar sidik.
“Umat Muslim di Indonesia dan seluruh dunia bisa jadi merasa jangan-jangan sholat sunat menjelang Subuh tidak sah. Karena sholatnya belum masuk waktunya. Tetapi masjid-masjid yang menggunakan puji-pujian sebelum Shalat Subuh bisa jadi mendekati waktunya,” kata Sofwan Jannah yang menciptakan kalender 150 tahun ini.
Sofwan Jannah mengatakan ada perbedaan yang jauh antara penetapan Kementerian Agama (Kemenag) dengan hasil riset Islamic Science Research Network (ISRN) Universitas Muhammadiyah Prof Hamka (UHAMKA). Kemenag menentukan irtifa‘ Subuh matahari dalam ketinggian -20 derajat, sedang ISRN pada -13,6 derajat.
“Temuan ISRN tersebut diperoleh dari hasil pengamatan selama 72 hari untuk mengamati awal waktu Isya, dan 117 hari untuk mengamati dan meneliti awal waktu Subuh,” terang Sofwan Jannah.
Menurut Sofwan, jadwal Shalat Magrib dan Isya juga perlu ada pembenahan. Waktu Magrib dinilai Sofwan relatif cukup lama dibandingkan dengan contoh yang dilakukan Rasulullah SAW. Sebab yang disebut sunset adalah piringan atas matahari sudah terbenam ditambah refraksi, kerendahan ufuk.
Sedang petunjuk akhir waktu Magrib hanya dibatasi dengan hilangnya mega merah dan terdeteksinya bintang-bintang di langit. “Realitas di kehidupan masyarakat waktu Magrib sangat lama, sehingga awal waktu Isya pun terlambat sampai menunggu mega putih lenyap digantikan dengan kegelapan malam yang kelam (-18). Demikian pula akhir Isya, ada yang mengakhiri saat menjelang fajar tiba. Padahal Rasulullah SAW membatasi hanya sampai pertengahan malam,” kata Sofwan.
Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan konsekwensi penetapan awal waktu Subuh. Sehingga masyarakat melaksanakan ibadah Shalat Subuh sudah memasuki waktu yang dianjurkan Rasulullah SAW. “Harapannya, penelitian ini dapat meningkatkan kesempurnaan ibadah umat Islam. Selain itu, juga untuk pengembangan keilmuan sesuai petunjuk Alquran dan Hadis yang diintegrasikan dengan keilmuan kealaman (ilmu astronomi),” katanya.