Teliti Zakat Masyarakat Sasak Lombok, Muhammad Jamiludin Raih Gelar Doktor di FIAI UII

Muhammad Jamiludin program doktor FIAI UII
SIdang Terbuka Promosi Doktor Muhammad Jamiludin pada Prodi Doktor Hukum Islam UII (foto:YT)

 YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET – Muhammad Jamiludin berhasil meraih gelar doktor pada Program Studi Hukum Islam Program Doktor (DHI) Universitas Islam Indonesia (UII) setelah berhasil mempertahankan disertasi berjudul Sosiologi Zakat Masyarakat Sasak, Telaah atas Pemahaman Amil dalam Pengelolaan Zakat, Infak dan Sedekah di Lombok Tengah. Sidang terbuka dan promosi doktor promovendus Muhammad Jamiludin, diselenggarakan Program Studi Hukum Islam Program Doktor UII di gedung KHA Wahid Hasyim Kampus Terpadu UII Jalan Kaliurang Sleman, Kamis 22 Agustus 2024.

Muhammad Jamiludin yang saat ini menjadi pengasuh Pondok Pesantren Munirul Arifin Nahdlatul Waton Praya Lombok melakukan penelitian di Masyarakat Sasak Lombok Tengah dibimbing promotor Prof. Dr. Amir Mu’allim, MIS dari UII dan copromotor Prof. Dr. H. Zainal Arifin Haji Munir UIN Mataram. Serta berhasil meyakinkan para penguji pada sidang terbuka yang dipimpin oleh Wakil Dekan FIAI UII Dr. H. Nur Kholis, S.Ag, S.E.I., M.Sh.Ec, didampingi para penguji Dr. Anisah Budiwati, M.S.I, Dr. Nispul Khoiri, M.Ag, Dr. Drs. Yusdani, M.Ag dan Dr Drs. Asmuni MA.

Muhammad Jamiludin menjadi doktor ke-52 yang diluluskan FIAI UII, doktor ke-363 yang diluluskan UII. Dalam penyampaian isi disertasi singkat di awal sidang, Muhammad Jamiludin mencoba membuka komunikasi dengan sebuah pantun dan disusul paparan awal isi disertasi.
“Apa yang ada dalam ayat Al Quran kemudian dikonstruksi dalam fikih-fikih klasik dan kita temukan bahwa Zakat yang dikenal secara normatif yang ada di kitab fikih klasik banyak sekali yang bersentuhan langsung dengan aspek sosiologis historis kemanusiaan yang menuntut adanya adaptasi dan perubahan dalam memahami zakat,” kata Muhammad Jamiludin.

Tambahnya, substansi doktrin zakat dalam Islam adalah kesejahteraan melalui distribusi kekayaan dalam masyarakat, bahwa kesenjangan kaya dan miskin adalah potensi konflik yang rentan dalam masyarakat. Ada beberapa aspek sosiologis historis zakat yang mempengaruhi dalam memahami tentang zakat, Pertama, bentuk pemerintah dari sistem khilafah menjadi sistem negara bangsa, yang berarti sistem zakat ikut berubah, masing-masing negara memiliki aturan dan kebijakan tata kelola zakat. Lembaga zakat tidak lagi menjadi inti dalam sistem pemerintahan tapi menjadi lembaga otonom dan tidak masuk dalam pendapatan sebuah negara.

Kedua, definisi perubahan penerima zakat atau mustahiq, dalam konteks hari ini bahwa mustahiq zakat yang disebutkan dalam surat At Taubah 60 sudah banyak bergeser maknanya dalam sistem masyarakat hari ini.

Contoh kasus garimin atau orang yang berhutang, yang pada masa lampau orang yang berhutang benar-benar tidak memiliki uang. Namun hari ini, semakin kaya seseorang, semakin banyak pula catatan piutang yang dimilinya di lembaga keuangan, baik bank atau finance. Demikian pula dengan riqab atau hamba sahaya dalam konteks hari ini.

“Masyarakat Lombok sebagai salah satu masyarakat yang dikenal dengan pemeluk islam fanatik, adalah sesuatu yang unik. Pada satu sisi masyarakat Sasak adalah masyarakat yang inklusif, namun muslim Sasak mulai tertutup. Fikih bagi masyarakat Sasak identik dengan agama yakni sesuatu yang sakral, tidak bisa diubah dan bersifat tetap. Ada banyak yang mempengaruhi, diantaranya adalah faktor doktrin teologis, mazhab fikih, tradisi, tokoh agama yakni kyai, ustadz, tuan guru, lembaga pendidikan dan doktrin organisasi sosial keagamaan,” ungkap Muhammad Jamiludin.

Menurut Muhammad Jamiludin, penelitian tersebut secara spesifik ingin menelusuri paradigma amil zakat dalam pengelolaan dana zakat yang diterimanya. Bagaimana amil memahami perubahan yang ada dalam masyarakat. Mampukah paradigma yang telah dipahami dan dilakukan menjawab substansi maqasid dari perintah zakat.

Muhammad Jamiludin dinyatakan berhasil mempertahankan disertasinya, sekaligus mendapat dorongan untuk mengabdi di masyarakat.

”Terus belajar, capaian doktor sebagai gelar tertinggi, bukan berarti belajar nya selesai, tetapi justru menjadi awal untuk otoritas belajar pada level yang lebih tinggi dan bermanfaat luas utk masyarakat,” kata Dr. H. Nur Kholis, S.Ag, S.E.I., M.Sh.Ec, Ketua Sidang Terbuka Program Doktor kali ini. (IPK)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *