YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Tim Program Kreativitas Mahasiswa Riset Sosial Humaniora, Universitas Gadjah Mada (PKM-RSH UGM) menemukan adanya pergeseran pelaksanaan tradisi punjungan. Di wilayah pedesaan tradisi punjungan masih melibatkan warga sekitar untuk membuat menu punjungan. Sedang di wilayah perkotan, tradisi punjungan dilaksanakan secara individu dengan memesan menu punjungan kepada pengusaha catering.
Tim PKM-RSH UGM terdiri lima mahasiswa yang berkolaborasi antar program studi (Prodi) dan fakultas di lingkungan Kampus UGM. Mereka adalah Galuh Lintang Larasati, Prodi Manajemen Kebijakan Publik angkatan 2022, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) UGM sebagai ketua.
Sedang anggotanya terdiri Pinky Astri Astuti, Prodi Sosiologi angkatan 2022, Fisipol; Upik Maulia, Prodi Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan angkatan 2023 Fisipol; Lola Purnama Sari, Prodi Antropologi angkatan 2022, Fakultas Ilmu Budaya (FIB); Rehuella Sarlotha Modjo, Prodi Sejarah angkatan 2021 FIB. Mereka di bawah dosen pendamping Pinurba Parama Pratiyudha, SSos, MA.
Galuh Lintang Larasati menjelaskan menurut penelitian yang telah dilakukan Hasyim dkk pada tahun 2022, tradisi punjungan merupakan simbol pemberitahuan atau undangan kepada orang lain. Punjungan diwujudkan melalui pemberian makanan sebagai bentuk ekspresi kasih sayang dan penghormatan.
“Tradisi punjungan sudah dilakukan turun-temurun juga telah lama hidup berdampingan dan diwariskan dari generasi ke generasi. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa kini tradisi dan budaya harus hidup berdampingan dengan perkembangan ilmu yang lebih modern,” kata Galuh di Yogyakarta, Rabu (17/7/2024).
Mereka, kata Galuh, melakukan penelitian di dua tempat yaitu Desa Dudukulon, Kecamatan Grabag dan Kelurahan Pangenjuru Tengah, Kecamatan Purworejo, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Warga Desa Dudukulon mewakili masyarakat rural atau pedesaan, sedang Kelurahan Pangenjuru untuk mengambarkan masyarakat urban atau perkotaan.
Galuh menambahkan sensitivitas sosial masyarakat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya awareness warga dalam menyikapi budaya atau tradisi lokal. Selain itu, juga untuk melihat pergeserannya dengan jalan efisiensi atau pakem tradisi.
“Untuk menilik sensitivitas sosial masyarakat dalam menghadapi pergeseran budaya punjungan dilakukan melalui komparasi masyarakat rural (pinggiran kota atau pedesaan) dengan masyarakat urban (pusat kota atau perkotaan),” kata Galuh.
Hasil penelian, kata Galuh, pada masyarakat rural, Desa Dudukulon memahami tradisi punjungan sebagai udangan, pemberitahuan akan adanya hajatan, serta sebagai simbol penghormatan kepada mereka yang lebih tua. Hal ini hampir sama dengan pemahaman, sebagian besar masyarakat urban, warga Kelurahan Pangenjuru Tengah yang memahami tradisi punjungan sebagai bentuk undangan dan pemberitahuan apabila akan mengadakan acara pernikahan.
Namun pada praktek pelaksanaannya, kata Galuh, terdapat beberapa perbedaan. Salah satunya adalah tradisi punjungan di Desa Dudukulon masih dilakukan secara bersama-sama dan melibatkan warga sekitar pemilik hajatan atau rewang. Tetangga dan perangkat desa turut serta dalam membantu kegiatan punjungan atau biasanya disebut sebagai munjungi.
Hal tersebut berkaitan dengan jumlah atau besarnya kapasitas hajat pemilik acara sedangkan praktek pelaksanaan tradisi punjungan di Kelurahan Pangenjurutengah lebih individual. Rumah tangga yang memiliki hajatan kurang melibatkan peran tetangga dan perangkat desa dalam kegiatannya.
“Keterbatasan tempat pelaksanaan rewang, kesibukan masyarakat, dan ketersediaan bahan mentah atau Sumber Daya Alam (SDA) mengharuskan mereka untuk pesan melalui catering yang dirasa lebih efisien dan efektif,” jelas Galuh. Selain itu, terdapat juga perbedaan pada komponen, modal, sasaran penerima, dan tradisi pendamping antara rural dan urban.
Penelitian ini, kata Galuh, menampilkan komparasi pemahaman dan pelaksanaan tradisi punjungan (urgensi tradisi dan upaya efisiensinya) di daerah rural dan urban Kabupaten Purworejo. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui sensitivitas sosial masyarakat setempat terhadap tradisi punjungan.
“Di masyarakat rural, tradisi punjungan masih cenderung dilaksanakan dengan nilai-nilai komunal yang kental. Sedang di daerah urban, sifat individualis masyarakat sebagai konsekuensi dari modernisasi zaman lebih terlihat,” jelas Galuh.
Tujuannya, kata Galuh, untuk menyorot sensitivitas sosial dalam kebertahanan tradisi juga mengenalkan kembali Tradisi Punjungan sebagai tradisi lokal dan warisan budaya. “Sasaran pengenalan kembali tradisi punjungan adalah generasi muda. Tujuannya agar tradisi punjungan tidak punah nilainya di tengah perkembangan dan modernisasi zaman,” harap Galuh. (*)