YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Saat ini masih ada ketidakjelasan undang-undang dalam mengatur secara rinci formulasi konsep putusan berkeadilan yang dikehendaki oleh titel eksekutorial putusan hakim. Meskipun titel eksekutorial secara etik merupakan simbol sumpah hakim, namun masih dijumpai praktik korupsi yudisial.
Demikian diungkapkan Achmad Fausi pada Ujian Terbuka dan Promosi Doktor pada Program Studi Hukum Islam, Program Doktor Jurusan Studi Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia (FIAI UII), Senin (16/12/2024). Achmad Fausi berhasil mempertahankan desertasinya berjudul ‘Formulasi Konsep Putusan Berkeadilan pada Titel Eksekutorial dan Relevansi Nilai Etiknya terhadap Pemberantasan Korupsi Yidisial.’
Desertasi tersebut dipertahankan di hadapan Tim Penguji yang terdiri Prof Fathul Wahid ST, MSc, PhD (Ketua), Dr Anisah Budiwati, SHI, MSI (Sekretaris), Prof Alfitri, MAg, LLM, PhD (Promotor), Dr Drs Asmuni, MA (Co-Promotor). Sedang penguji terdiri Prof Dr Tamyiz Mukharrom, MA; Prof Dr M Syamsudin, SH, MH; dan Dr Yusdani, MAg. Tim Penguji menyatakan Achmad Fausi lulus dengan Indek Prestasi Komulatif (IPK) 3,98 atau Cumlaude.
Lebih lanjut Achmad Fausi menjelaskan formulasi konsep putusan berkeadilan pada titel eksekutorial lahir dari prosedur formal yang benar dan adil sejak tahapan pra persidangan, persiapan persidangan, pelaksanaan persidangan, hingga eksekusi putusan. Secara materiil mengandung unsur penemuan hukum dan penciptaan hukum, dengan metode induksi tematis (istiqra’ ma’nawi) dan prinsip sinergi bukti (mabda’ tadofur adillah). Prosedur tersebut menghasilkan putusan dengan kriteria yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan moral.
Achmad Fausi menambahkan prinsip etik yang terkandung dalam titel eksekutorial telah diformalisasikan ke dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Namun prinsip etik tersebut perlu disempurnakan dengan prinsip berketuhanan.
“Semua prinsip tersebut memiliki relevansi erat dengan upaya pemberantasan korupsi yudisial. Karena di dalamnya tidak hanya berisi aturan formal yang mengatur tindakan lahiriah, melainkan mengandung prinsip I’timāni yang berlandaskan amanah, intensi baik, dan spiritualitas. Sehingga membingkai batin hakim dari praktik korupsi yudisial,” kata Achmad Fausi.
Hasil penelitian memperkuat landasan teoretis keadilan hukum profetik, berkontribusi metodologis pada pengembangan fikih Indonesia, dan perbaikan sistem peradilan dari praktik korupsi yudisial. Selain itu, juga memperkuat regulasi untuk memastikan prinsip keadilan dan metodologi penemuan hukum Islam diintegrasikan secara harmonis dalam sistem hukum nasional.
Menurut Achmad Fausi, putusan mengandung nilai keadilan apabila individu atau entitas telah mendapatkan haknya secara sah berdasarkan hukum dan keadilan. Pemilik kewajiban hukum dalam suatu perkara telah menjalankan kewajibannya sehingga tercipta pemulihan keseimbangan di antara para pihak yang bersengketa, serta ada jaminan kepastian hukum bahwa amar putusan secara yuridis dapat dilaksanakan.
“Selain itu, putusan berkeadilan lahir dari adanya keimanan dan ketundukan kepada kedaulatan Tuhan, memancarkan spirit humanisme, putusan lahir dari kematangan psikologis, kemandirian hakim dan kemerdekaan peradilan, sikap imparsial, proses yang profesional dan berintegritas, serta transparan,” tandas Achmad Fausi. (*)