YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Universitas Islam Indonesia (UII) mengukuhkan dua Guru Besar, Prof Johan Arifin, SE, MSi, PhD dan Prof Dr Drs Sutrisno, MM pada Rapat Terbuka Senat Universitas Islam Indonesia Pidato Pengukuhan Profesor di Auditorium Abdul Kahar Mudzakkir, Kampus Terpadu UII, Selasa (3/12/2024). Rapat Terbuka Senat yang dipimpin Rektor UII, Fathul Wahid dihadiri tamu undangan mitra serta kolega.
Prof Johan Arifin merupakan Guru Besar Bidang Ilmu Akuntansi Sektor Publik pada Fakultas Bisnis dan Ekonomika (FBE). Johan Arifin menyampaikan pidato berjudul Penguatan Praktik Transparansi dan Akuntan Publik : Perspektif Isomorfisme Teori Institusional. Sedang Prof Sutrisno, Guru Besar Bidang Bidang Ilmu Manajemen Keuangan Fakultas Bisnis dan Ekonomika (FBE). Sutrisno menyampaikan pidato berjudul Quo Vadis Perbankan Syariah Indonesia?
Johan Arifin menjelaskan belakangan ini, banyak anggota masyarakat kita yang merasa prihatin dengan rendahnya tingkat transparansi dan akuntabilitas pelayanan publik. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh semakin meluasnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilakukan oknum pejabat pemerintah, yang tampaknya tidak terpengaruh oleh institusi dan peraturan hukum yang ada.
Selain itu, kata Johan Arifin, lembaga-lembaga yang diberi kepercayaan untuk melakukan audit terhadap kinerja lembaga-lembaga pemerintah atau satuan organisasi pemerintah tampaknya terkendala oleh patologi birokrasi yang kronis. Sehingga tidak mungkin melakukan penilaian terhadap kinerja lembaga-lembaga tersebut.
Lebih lanjut Johan menambahkan banyaknya pemborosan dan penyelewengan keuangan pemerintah yang dilakukan oleh pegawai negeri sipil telah diketahui masyarakat luas. Bahkan hal tersebut menjadi stigma di lingkungan pegawai negeri yang tidak akan pernah dilupakan masyarakat. Kebijakan-kebijakan seperti pengawasan melekat, pemerintahan yang bersih dan berwibawa, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sangat sulit diterapkan dan sering digunakan oleh pejabat pemerintah sebagai sarana untuk meredam kemarahan masyarakat terhadap politik kekuasaan. Hal ini telah menjadi bahan basa-basi dan retorika bagi pihak berwenang.
“Hebatnya, masyarakat tidak pernah merasa bertanggung jawab secara layak terhadap pihak berwenang yang diberi wewenang oleh mereka. Akibatnya, kita tidak pernah merasa memiliki pemerintahan yang bertanggung jawab (responsible government),” kata Johan Arifin.
Penyebab utama patologi birokrasi, kata Johan, adalah rendahnya profesionalisme pegawai negeri, kebijakan pemerintah yang kurang transparan dan akuntabel, keengganan terhadap kontrol sosial, kurangnya manajemen partisipatif, dan menyebarnya konsumerisme dan ideologi hedonis di kalangan kelas penguasa. Juga kurangnya kode etik yang ketat bagi elit dan pejabat di semua tingkatan dengan sanksi yang tegas dan adil.
Keberhasilan atau kegagalan dalam mencapai transparansi dan akuntabilitas akan sangat penting dalam upaya meningkatkan tata kelola dan manajemen kekuasaan di Indonesia. Oleh karena itu, membangun Indonesia yang baru dan lebih baik memerlukan upaya serius untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas publik. “Transparansi dan akuntabilitas penting tidak hanya dalam penyelenggaraan pemerintahan saja, tetapi juga dalam pengelolaan pelayanan publik,” kata Johan.
Kata Johan, berbagai lembaga pemerintah di Indonesia berdasar kajian perspektif Isomorfisme Teori Institusional diperoleh hasil bahwa tekanan mimetik (meniru/mencontoh), memiliki pengaruh yang sangat kuat (dominan) terhadap praktik transparansi dan akuntabilitas pada lembaga sektor publik Indonesia.
Menurut Johan, konsep isomorfisme mimetik ini selaras dengan semboyan Ki Hajar Dewantara “ing ngarso sung tulodo ing madya mangun karso tut wuri handayani.” Sebuah prinsip dalam kepemimpinan yang berarti “di depan memberikan contoh yang baik, di tengah memberikan semangat dan inspirasi, di belakang memberikan dukungan dan bantuan“.
“Praktik menjadi seorang pimpinan yang baik/berhasil atau institusi yang baik/berhasil agar ditiru oleh pihak lain yang sedang mengalami ketidakpastian harus senantiasa tertanam pada setiap pimpinan maupun institusi sektor publik di Indonesia,” kata Johan. (*)