YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Universitas Islam Indonesia (UII) mengukuhkan Prof Dr rer soc Masduki, SAg, MSi dan Prof Dr Tamyiz Mukharrom, MA sebagai Guru Besar. Pengukuhan dilaksanakan dalam Sidang Terbuka Senat UII yang berlangsung di Auditorium Abdul Kahar Mudzakkir Kampus Terpadu UII Yogyakarta, Selasa (25/6/2024).
Dalam Sidang Senat Terbuka yang dipimpin Rektor UII, Prof Fathul Wahid ST, MSc, PhD, Prof Masduki menyampaikan pidato pengukuhan berjudul ‘Kebebasan Akademik dan Resiliensi Otoritarianisme di Indonesia.’ Sedang Prof Tamyiz Mukharrom menyampaikan pidato pengukuhan berjudul ‘Pembaruan Ushul Fiqh sebagai Respons terhadap Beragam Problem Kontemporer.’
Masduki mengatakan sepanjang dua dekade terakhir, di Indonesia muncul beragam pertanyaan ontologis. Di antaranya, mengapa perguruan tinggi negeri dan swasta absen dalam advokasi berbagai kasus pelanggaran hak azasi manusia (HAM)? Siapa sejatinya para akademisi? Apa makna perguruan tinggi dalam kehidupan sosial?
Selain itu, kata Masduki, mengapa perguruan tinggi justru menjadi ’menara gading’ (ivory tower), tercerabut dari nurani, narasi dan kerja-kerja kepublikan yang menjadi orientasi utama keberadaannya sebagai lembaga sosial?
Pertanyaan ini, lanjut Masduki, mengemuka ketika dua kasus terkait proyek strategis nasional sedang trending tahun 2023. Pertama, upaya pengambilan paksa lahan warga untuk tambang andesit di Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Kedua, upaya penggusuran pemukiman warga Rempang, di Batam untuk proyek pabrik kaca.
“Pertanyaan serupa muncul ketika begitu langkanya akademisi yang berani menyuarakan kritik atas praktik politik dinasti dalam Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden-Wakil Presiden tahun 2024 dan kemunduran demokrasi Indonesia,” kata Masduki.
Menurut Masduki, ada banyak jawaban atas pertanyaan tersebut. Ia mengutip Hoffman (2016) dan Schulze-Cleven, dkk. (2017), hal tersebut disebabkan akademisi mengalami losing relevance in society karena dipicu dua hal. Pertama, semakin menguatnya kapitalisasi, marketisasi ilmu pengetahuan (knowledge economies) sebagai kebijakan yang dominan. Kedua, neo-feodalisasi di tubuh kampus yaitu elit universitas mendekati struktur kekuasaan pemegang kendali sumber daya politik ekonomi di sisi lain dan mereduksi kritisisme.
Sedang Prof Tamyiz Mukharrom menjelaskan ushul fiqh adalah ilmu yang sangat penting dalam menghasilkan hukum Islam yang responsif dan adaptable terhadap permasalahan kontemporer. Sebab ushul fiqh merupakan ilmu yang berisikan kumpulan metode-metode, dasar-dasar, pendekatan-pendekatan, dan teori-teori yang digunakan dalam memahami ajaran Islam.
Ilmu ini, kata Tamyiz, menjadi dasar dalam merumuskan hukum syariah oleh para ahli fiqh, baik dengan menggunakan metode bayani ataupun burhani dalam mengeluarkan hukum dari sumbernya. Hal inilah yang menjadikan ushul fiqh menempati posisi sentral dalam studi keislaman, sehingga sering kali disebut sebagai the queen of Islamic sciences.
Lebih lanjut Tamyiz menjelaskan perubahan-perubahan sosial yang dihadapi umat Islam pada zaman modern ini, telah mendatangkan sejumlah permasalahan yang serius berkaitan dengan hukum Islam dalam hal ini melahirkan fiqh kontemporer. Di era kontemporer, umat Islam dihadapkan dengan persoalan yang semakin kompleks dan multidimensional.
Kasus-kasus kekinian, jelas Tamyiz, meliputi masalah ekonomi, pidana, medis, politik adalah realitas yang dihadapi umat Islam. Problem-problem ini membutuhkan solusi yang kreatif dan inovatif juga membutuhkan pemikiran yang logis dan metodologis.
Menurut Tamyiz, kebutuhan akan ushul fiqh dalam penyelesaian masalah kontemporer sangat diandalkan. Namun pembaharuan ushul fiqh tidak bisa berjalan mulus karena ada sebagian orang menolak pembaharuan ushul figh.
“Penolakan terhadap tajdid ushul fiqh, menurut penulis tidak tepat, karena bagaimanapun juga ilmu pengetahuan selalu berkembang. Ushul fiqh sebagai ilmu yang diciptakan beberapa abad silam membutuhkan perkembangan dan upgrade perangkat-perangkatnya,” kata Tamyiz.
Sementara Rektor UII, Prof Fathul Wahid mengatakan setiap amanah dipastikan ada tanggung jawab yang melekat padanya. Amanah profesor, sebagai jabatan akademik tertinggi, sudah sewajarnya menuntut peningkatan kualitas kerja, karya, dan sensitivitas akademik terbaik. Ini juga merupakan salah satu cara mensyukuri jabatan profesor.
“Saya tahu, tentu menyajikan semuanya tidak selalu mudah. Tetapi justru di sanalah konsistensi menjaga integritas akademik diuji. Sekali lagi, jabatan profesor tidak hanya merupakan prestasi, tetapi juga sekaligus amanah publik yang perlu dijalankan dengan sepenuh hati,” kata Fathul Wahid. (*)