YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII (HTN FH UII), dan Pusat Studi Hukum KonsFtusi FH UII (PSHK FH UII) mendesak Mahkamah Konstitusi (MK) menolak Perkara Nomor 114/PUU/XX/2022 dan tetap mempertahankan sistem Pemilu terbuka. UII juga mendukung Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk tetap fokus menyelenggarakan tahapan Pemilu 2024 agar tercipta Pemilu yang berintegritas.
Hal itu diungkapkan Rektor UII, Prof Fathul Wahid ST, MSc, PhD dalam rilis yang dikirim ke media massa di Yogyakarta, Selasa (13/6/2023). Selain Rektor UII, rilis juga ditandatangani Dr Jamaludin Ghafur, SH, MH, Kepala Departemen HTN FH UII; dan Dian Kus Pratiwi SH, MH, Direktur PSHK FH UII.
“UII juga meminta partai politik (Parpol) untuk melakukan pendidikan dan pembinaan kepada kadernya agar dapat menciptakan iklim politik yang sehat dan berkualitas,” kata Fathul Wahid.
Rektor UII menjelaskan pernyataan sikap UII ini untuk memberi dukungan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah menjadwalkan pengucapan putusan Perkara Nomor 114/PUU/XX/2022 pada Kamis, 15 Juni 2023. Putusan MK ini akan menentukan nasib sistem Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 apakah akan diselenggarakan tetap secara proporsional terbuka atau diubah dengan sistem proporsional tertutup.
Karena itu, kata Fathul Wahid, UII memberikan catatan pertama, sebagai pengawal demokrasi (the guardians of democracy), MK sudah selayaknya dan seharusnya menolak permohonan pengubahan sistem Pemilu dari terbuka menjadi tertutup tersebut dan mempertahankan sistem Pemilu terbuka. Hal ini selaras dan konsisten dengan Putusan MK Nomor 22/PUU/IV/2008 terdahulu yang menegaskan bahwa dasar penetapan calon terpilih berdasarkan calon yang mendapatkan suara terbanyak secara berurutan bukan atas dasar nomor urut terkecil yang ditetapkan hanya di internal Partai Politik (Parpol).
Kedua, sistem Pemilu terbuka memastikan bahwa pelaksanaan kedaulatan rakyat dan pemeliharaan iklim demokrasi terus lestari dan berjalan dengan baik di Indonesia karena akan menjamin bahwa calon wakil rakyat yang terpilih adalah benar-benar pilihan rakyat sendiri dan bukan hanya pilihan Parpol.
Ketiga, sistem Pemilu terbuka akan memperkuat partisipasi dan kontrol publik terhadap wakil rakyat yang akan duduk di parlemen. Partisipasi dan kontrol publik ini berangkat dari hubungan antara wakil rakyat dan konstituennya yang merupakan ciri pelaksanaan sistem demokrasi. “Demokrasi memberikan saluran kepada warga negara untuk berhubungan langsung dengan sumber kewenangan dan kekuasaan politik,” kata Fathul Wahid.
Keempat, Mahkamah Konstitusi juga harus mengantisipasi dan memperhatikan dampak besar terhadap perubahan sistem Pemilu terbuka menjadi Pemilu tertutup. Karena seluruh proses yang telah dilaksanakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dari Juni 2022 hingga Juni 2023 ini diselenggarakan dengan rujukan sistem Pemilu terbuka. Perubahan atas sistem tersebut dikhawatirkan akan merobohkan seluruh proses yang telah dibangun KPU selama ini. (*)