YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Gempa bumi yang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah (Jateng), Sabtu 27 Mei 2006, tidak banyak orang memprediksinya. Saat itu warga DIY dan Jateng lebih konsentrasi menghadapi bencana Gunung Merapi.
Sehingga banyak kegiatan yang tetap dilaksanakan seolah-olah tidak ada bencana. Di antaranya, pertama, Wisuda Diploma, Sarjana, Magister, dan Doktor Universitas Islam Indonesia (UII). Kedua, pengalaman Dwi Daryanto, Kepala Badan Penanggulanan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bantul yang mengantar anaknya sekolah. Namun setelah melihat banyak bangunan rumah, sekolah, gedung-gedung perkantoran akhirnya balik ke rumah.
Hal tersebut terungkap dalam diskusi ‘UII Mengenang 15 Tahun Gempa DIY-Jateng’ yang dilaksanakan secara virtual, Rabu (26/5/2021). Diskusi ini dilaksanakan Simpul Pemberdayaan Masyarakat untuk Ketangguhan Bencana Universtas Islam Indonesia (SPMKB UII) bekerjasama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), BPBD, dan Building Universities in Leading Disaster resilience (BUiLD).
Diskusi ini dibuka Wakil Rektor IV, Bidang Networking dan Kewirausahaan, Ir Wiryono Raharjo, MArch, PhD. Sedang nara sumber Prof Dr H Edy Suandi Hamid, MEc, Rektor UII saat terjadi gempa, dan kini sebagai Rektor Universitas Widya Mataram (UWM). Prof Ir Sarwidi, MSCE, PhD A-Utama, Guru Besar UII, Pengarah BNPB, Inventor dan Inovator BARRATA(R) & SIMUTAGA(R). Drs Dwi Daryanto, MSi, Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Bantul.
Dijelaskan Edy Suandi Hamid, saat terjadi gempa bumi, UII telah mempersiapkan untuk wisuda diploma, sarjana, magister, dan doktor. Edy Suandi Hamid yang belum mengetahui kerusakan akibat gempa menuju kantor seperti hari-hari biasa.
Tetapi sesampai di Auditorium KH Kahar Mudzakkir, sudah banyak calon wisudawan, orangtua/wali, dan perwakilan alumni yang hadir. Mereka ada di luar dan dalam gedung. “Itu merupakan wisuda pertama kali ketika saya menjabat Rektor UII. Saya berkeinginan wisuda tetap dilaksanakan,” kata Edy.
Namun sebelum memutuskan, Edy meminta pertimbangan dari wakil-wakil rektor, terutama Prof Sarwidi yang ahli bencana. Prof Sarwidi mengusulkan agar wisuda ditunda. Tetapi saat Edy akan mengumumkan penundaan di dalam Auditorium, diinterupsi orang tua wisudawan yang berasal dari Aceh.
“Orangtua wisudawan tersebut meminta agar wisuda tetap dilaksanakan dengan alasan pengalaman tsunami di Aceh, bila sudah terjadi gempa, maka gempa susulan tidak terlalu besar. Kemudian, orangtua wisudawan tersebut menjelaskan sudah jauh-jauh dari Aceh dengan biaya yang tidak sedikit, izin kerja dan lain-lain sehingga jika ditunda belum tentu mereka bisa datang. Akhirnya, wisuda tetap dilaksanakan,” kata Edy.
Untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, wisudawan dan orang tua tidak duduk di dalam Auditorium. Namun mereka ditempatkan di halaman belakang Auditorium. Kemudian wisudawan dipanggil satu per satu untuk diwisuda di dalam Auditorium dan langsung pulang.
“Lucunya, saat prosesi wisuda berlangsung, ada gempa terus mereka bubar. Kemudian kumpul lagi, ada gempa bubar lagi, dan kumpul lagi. Selain itu, ada panggilan si A dan B diminta pulang karena ada keluarganya meninggal dunia,” kenang Edy.
Setelah wisuda, Edy melakukan pengecekan terhadap gedung-gedung milik UII. Ternyata gedung yang rusak paling parah adalah Gedung Fakultas Hukum yang berada di Jalan Tamansiswa. Edy pun memutuskan kuliah diliburkan selama seminggu. Sedang perkantoran tetap buka, hingga malam. Staf UII yang menjadi korban diliburkan.
Untuk membantu korban gempa, UII mengerahkan mobile rescue yang melibatkan dosen, Resimen Mahasiswa (Menwa), dan Mapala UII untuk mendistribusikan bahan pokok kebutuhan korban bencana. “Peran UII, waktu itu dilihat media nasional dan internasional. UII dinilai tepat sasaran dalam menyalurkan bantuan yang sifatnya natura. UII juga menawarkan jasa konsultasi pembangunan kembali gedung-gedung fasilitas sosial yang ditangani FTSP,” katanya.
Sedang Sarwidi mengemukakan pihaknya telah mempersiapkan rumah-rumah tahan gempa, sebelum peristiwa gempa bumi. Persiapan UII pra bencana gempa sudah dilaksanakan tahun 1999 yang bekerjasama dengan Jepang. “Melatih para mandor seluruh Indonesia, kemudian pembuatan rumah tahan gempanya diterapkan di Bantul,” kata Sarwidi.
Sementara Wiryono Raharjo mengatakan rehabilitasi korban gempa di Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul dan beberapa wilayah Jateng relatif cepat. Kecepatan untuk menata kembali kehidupan ini menunjukkan tingkat resiliensi warga Yogyakarta dan Jawa Tengah yang cukup tinggi.
“Inilah pelajaran yang perlu dipelihara oleh semua warga Indonesia, negeri yang sangat rawan bencana. Sayang, yang terjadi justru pengalaman tersebut sering dilupakan. Setelah sekian lama bencana berlalu, kita sering lupa bagaimana mengatasi dan bangkit dari bencana tersebut,” kata Wiryono.
Karena itu, diskusi ‘UII Mengenang 15 Tahun Gempa DIY-Jateng’ diharapkan dapat mengingatkan dan mempertahankan tingkat resiliensi warga DIY dan Jateng. Selain itu, UII akan melakukan pelatihan, workshop secara kontinyu agar tingkat resiliensi ini dapat dipertahankan.
Pelatihan dan workshop, kata Wiryono, akan ditangani Simpul Pemberdayaan Masyarakat untuk Ketahanan Bencana (SPMKB) UII. Sebuah unit yang terbentuk melalui program BUiLD. Program BUiLD yang didanai oleh Uni Eropa, melalui Erasmus+ CBHE (Capacity Building in Higher Education).
Program ini menyatukan beberapa universitas di Indonesia dan Eropa dalam konsorsium, yang fokus kegiatannya pada mitigasi bencana. “Unit semacam SPMKB di UII tersebut ada di masing-masing anggota konsorsium yang tersebar di Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi,” kata Wiryono Raharjo.