YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Universitas Islam Indonesia (UII) mewisuda 482 lulusan dari berbagai jenjang di Auditorium Abdul Kahar Mudzakkir Kampus Terpadu UII. Mereka terdiri satu ahli madia, 411 sarjana, 66 magister, dan empat doktor. Hingga kini, UII telah meluluskan 125.375 orang yang sudah menebar manfaat dengan beragam peran, baik di dalam negeri maupun mancanegara.
“Ini adalah bagian dari sumbangsih UII untuk kemajuan bangsa dan kemanusiaan,” kata Rektor UII, Prof Fathul Wahid, ST, MSc, PhD pada wisuda Periode IV Tahun Akademik 2023/2024, Sabtu (9/3/2024).
Rektor UII mengharapkan kecakapan dan pengalaman yang sudah wisudawan kumpulkan selama studi, insyaallah sudah cukup untuk membuka beragam pintu berkiprah. Pilihannya beragam, mulai bekerja di perusahaan atau lembaga yang sudah ada, membuka usaha, atau melanjutkan perjalanan studi ke jenjang yang lebih tinggi.
“Apa pun pilihan saudara, setiapnya mempunyai tantangan masing-masing. Namun ada satu tantangan yang sama, yaitu bahwa apa yang sudah Saudara kuasai saat ini, sangat mungkin jadi menjadi kedaluwarsa di masa mendatang. Karenanya, Saudara harus terus mengasah diri. Selalu pastikan keberadaan Saudara relevan untuk konteks waktu dan tempat berkarya. Hanya dengan demikian, kontribusi terbaik dapat diberikan,” harap Fathul Wahid.
Lebih lanjut Fathul Wahid mengatakan ilmu pengetahuan yang terus berkembang tak jarang menawarkan banyak perspektif baru. Sebagai mengganti yang lama, sisanya melengkapinya. “Keterbukaan dan penguasaan beragam perspektif ini menjadi penting di masa yang berubah sangat cepat untuk menjadikan Saudara semakin adaptif,” katanya.
Rektor UII mengajak lulusan untuk memperkaya perspektif yang mungkin belum masuk radar. Salah satunya, ada pertanyaan: apakah segala sesuatu harus teratur dan rapi? Pemahaman tradisional akan menjawab: ‘ya.’ Tetapi, studi mutakhir memberikan jawaban lain. Ada manfaat tersembunyi dari kondisi yang berantakan atau kesemrawutan sampai tingkat tertentu.
Menurut Fathul Wahid, banyak tindakan paradoks yang menjadikan seseorang tidak produktif. Di antaranya, pernah membayangkan seorang gadis yang akan keluar jalan-jalan dengan tampilan kasual harus menghabiskan waktu satu jam di depan cermin?
Contoh lain, orang tua yang setiap kali sibuk membereskan mainan anaknya yang terserak, tetapi tidak pernah bisa meluangkan waktu bermain dengan anaknya. Atau, apa yang terjadi jika seorang pustakawan datang ke rumah dan membantu Saudara mengatur kembali buku-buku dalam perpustakaan pribadi yang jumlahnya ratusan bahkan ribuan? Saya jamin, Saudara akan kesulitan mencari kembali buku, dibandingkan jika dalam posisi semula yang telah Saudara hafal.
“Apa pesan moralnya? Ternyata, untuk menjadi yang terbaik atau optimum, tidak semuanya harus teratur, tertata rapi. Namun, dalam tingkatan tertentu ketidakteraturan atau kesemrawutan harus ditoleransi atau bahkan dibuat,” kata Fathul. (*)