YOGYAKARTA — Pengadilan Agama berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 telah diberi wewenang untuk menyelesaikan perkara ekonomi syariah. Selama ini, konsumen jasa keuangan syariah selalu dalam posisi yang dirugikan. Pengadilan Agama memiliki peran untuk melindungi konsumen dengan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan dalam proses penyelesaian perkara.
Demikian dikatakan Ulil Uswah, Wakil Ketua Pengadilan Agama Giri Menang, Nusa Tenggara Barat (NTB) dalam ujian terbuka desertasi pada Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Sabtu (29/7/2017). Dewan penguji terdiri Nandang Sutrisno SH, LLM, MHum, PhD (Ketua Sidang), Dr Hujair AH Sanaky MSI (Sekretaris), Prof Dr Syamsul Anwar MA (Promotor), Dr Drs Dadan Muttqien SH MHum (Co Promotor), Prof Dr Abdul Salam Arief MA , Dr H A Mukti Arto SH MHum, dan Dr Rahmani Timorita Y MAg (Penguji).
Ulil Uswah berhasil mempertahankan desertasinya berjudul ‘Perlindungan Konsumen terhadap Pelaku Usaha Jasa Keuangan Syariah pada Peradilan Agama (Pasca Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Amandemen Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama)’ dan berhak menyandang gelar doktor.
Lebih lanjut Ulil Uswah menjelaskan dalam usaha lembaga jasa keuangan syariah terdapat dua pihak yang saling terkait dan saling membutuhkan yaitu pelaku jasa keuangan syariah, konsumen, dan pihak ketiga. Banyak permasalahan pada jasa keuangan ekonomi syariah, di antaranya, moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan.
Hal ini menyebabkan kedudukan konsumen berada pada posisi yang lemah karena menjadi obyek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Minimnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat konsumen sering dijadikan lahan bagi pelaku usaha dalam transaksi yang tidak mempunyai itikad baik dalam menjalankan usaha.
“Hal ini memunculkan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. Ada dua penyebab sengketa yaitu wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. Karena itu, diperlukan aturan mengenai perlindungan konsumen,” kata Ulil.
Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui dua cara yaitu luar pengadilan dan pengadilan. Lembaga penyelesai sengketa luar pengadilan antara lain Lembaga Ombudsman (LOD), Badan Penyelesai Sengketa Konsumen (BPSK), Lembaga Konsumen Yogyakarta (LKY), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Sedang penyelesaian sengketa konsumen melalui peradilan diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Namun sejak 20 Maret 2006, berlaku Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 yang berisi Pengadilan Agama berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah, dan ekonomi syariah.
Ulil Uswah mengakui hakim Pengadilan Agama dalam memutuskan sengketa ekonomi syariah belum optimal, akibat belum maksimalnya pelaksanaan aturan-aturan yang ada. Penyebabnya, adanya ketidakjelasan sebagian pasal-pasal UU tersebut. Di antaranya, pasal 4 ayat (e) UUPK yaitu hak konsumen untuk mendapatkan upaya penyelesaian sengketa perlindungan secara patut. Selain itu, juga pada pasal 45, 46, 47, dan pasal 48 UUPK, pasal 39 POJK dan pasal 57 ayat (3) UUPK.