YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Dr Yudi Prayudi, SSi, MKom, Dosen Jurusan Informatika Fakultas Terknologi Industri, Universitas Islam Indonesia (FTI UII) mengatakan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) belum mengakomodasi barang bukti digital secara optimal sebagai barang bukti pada kasus cybercrime. Hal ini menyebabkan belum dapat diterapkan mekanisme yang sama untuk chain of custody pada barang bukti fisik dan bukti digital.
Yudi Prayudi mengemukakan hasil penelitian desetasinya kepada wartawan di Kampus FTI UII Yogyakarta, Rabu (29/1/2020). Yudi berhasil meraih gelar doktor pada Program Doktor Ilmu Komputer Departemen Ilmu Komputer dan Elektronika, Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Gadjah Mada (FMIPA UGM) Yogyakarta. Yudi menjadi doktor ke 10 pada Jurusan Informatika FTI UII.
Lebih lanjut Yudi yang juga Ketua Program Studi Forensika Digital FTI UII mengatakan hal tersebut berakibat terdapat aspek penyimpanan barang bukti, pencatatan informasi kontekstual dan kontrol terhadap aksesibilitas pada barang bukti digital yang tidak dapat diimplementasikan sebagaimana mestinya. “Hal ini mengakibatkan adanya inkonsistensi dalam penanganan barang bukti yang berdampak pada menurunnya kredibilitas penegak hukum/ pemeriksa/praktisi forensik digital dalam menangani kasus cybercrime,” kata Yudi.
Yudi yang didampingi Fietyata Yudha, SKom, MKom, Dosen Jurusan Informatika dan Peneliti Program Studi Forensika Digital FTI UII dan Ahmad M Raf’ie Pratama ST, MT, PhD, menjelaskan kesenjangan chain of custody penggunaan barang bukti fisik dan digital ini menjadi fokus peneliannya. Yudi berharap hasil penelitiannya dapat menjembatani kesenjangan tersebut.
Dijelaskan Yudi, chain of custody merupakan sebuah prosedur untuk secara kronologis melakukan pendokumentasian terhadap barang bukti serta pencatatan interaksi terhadapnya. Dokumentasi, pencatatan dan kontrol terhadap barang bukti sangatlah mudah dilakukan pada barang bukti fisik, namun tidak demikian halnya dengan bukti digital.
Karakteristik khusus dari bukti digital seperti kemudahan dalam hal modifikasi, copy, hapus, transfer dokumen digital telah menjadi tantangan sendiri dalam proses dokumentasi bukti digital. Untuk itu, chain of custody sebagai bukti digital lebih sulit dibandingkan dengan barang bukti fisik pada umumnya.
Menurut Yudi, solusi yang dihasilkan berbasiskan pada pendekatan regulasi yang ada dan menghasilkan sebuah framework yang memuat aspek konseptual dan teknis. Kedua aspek tersebut kemudian diintegrasikan menjadi satu kesatuan terminologi dengan nama Digital Evidence Cabinet (DEC).
Konsep dasar framework ini adalah sentralisasi penyimpanan melalui analogi bentuk fisik dari kantong, label, rak dan lemari menjadi bentuk struktur digital melalui pendekatan xml untuk komponen evidence identifier, evidence unit, evidence bags, evidence rack, evidence cabinet dan evidence repository.
“Implementasi framework Digital Evidence Cabinet ini telah berhasil mensimulasikan skenario penanganan kasus yang membutuhkan pemeriksaan bukti digital pada lingkup Laboratorium Forensik Digital serta memberikan output chain of custody sesuai dengan yang diharapkan,” kata Yudi.
Hal ini, jelas Yudi, dapat menjadi landasan bagi pemeriksa digital maupun praktisi forensik digital lainnya untuk dapat mengimplementasikan Digital Evidence Cabinet ini sebagai solusi chain of custody untuk bukti digital. Digital Evidence Cabinet diharapkan dapat membantu penegak hukum/pemeriksa/ praktisi forensik digital dalam mengimplementasikan konsep chain of custody untuk bukti digital sebagai salah satu aspek penting dalam proses investigasi cybercrime.
Kedepannya, kaya Yudi, penerapan Digital Evidence Cabinet diharapkan akan meningkatkan kredibilitas dan konsistensi penegak hukum/ pemeriksa/ praktisi forensik digital dalam menjalankan tugas-tugas investigasi yang melibatkan bukti digital. “Selain itu, perlu dilakukan revisi UU ITE agar barang bukti digital dapat terakomodir,” tandasnya.